Senin, 20 April 2009

PERAN WASDAL DALAM PENGEMBANGAN CLUSTER INDUSTRI PERIKANAN

Oleh : Ir. Rachmat Soegiharto

Kedepan, pembangunan industri perikanan di Provinsi Banten diarahkan pada konsep pengembangan berbasis kawasan (cluster based fishery) . Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, Ir. H. Suyitno, MM, mengatakan bahwa penerapan konsep ini merupakan metode yang tidak bisa ditawar lagi untuk mempercepat tumbuh kembangnya industri kelautan perikanan di Provinsi Banten. Suyitno juga mengatakan bahwa keberhasilan penerapan konsep harus didukung oleh semua bidang termasuk aspek pengawasan dan pengendalian.
1. Definisi Kluster dan Kluster Perikanan
Kluster adalah konsentrasi geografis berbagai kegiatan di kawasan tertentu yang satu sama lain saling melengkapi, saling bergantung dan saling bersaing dalam melakukan aktivitas bisnis (anonim, 2008).
Pembangunan kluster industri kelautan perikanan secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah pengembangan kawasan yang secara geografis mengintegrasikan seluruh sumberdaya, pelaku, dan faktor-faktor produksi yang terkait, yang beroperasi secara simultan dan saling membutuhkan.
Dalam konsep kluster, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) selaku pembuat regulasi dan instansi yang bertanggungjawab dalam pengembangan sarana dan prasarana kelautan dan perikanan, akan berkolaborasi dengan kalangan perbankan selaku penyedia modal, kalangan swasta/pengusaha bersama koperasi sebagai pelaksana kegiatan, serta masyarakat nelayan-pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya sebagai penerima manfaat.
Dengan terintegrasinya berbagai faktor produksi tadi, maka pembangunan cluster industri kelautan perikanan secara teoritis akan mampu meningkatkan daya saing industri di dalamnya, karena kedekatannya dengan sumber bahan baku, dan kedekatannya dengan sumber-sumberdaya lainnya akan membuat seluruh faktor produksi dapat didayagunakan secara efisien.
Pengembangan pelabuhan perikanan merupakan salah satu contoh pembangunan kelautan perikanan berbasis cluster. Di kawasan ini seluruh rantai bisnis, mulai dari armada kapal tangkap, pelabuhan bongkar muat, sarana air bersih, pabrik es, tempat pelelangan, fasilitas docking, toserba kebutuhan nelayan, stasiun pengisian bahan bakar, sampai dengan warung-warung tegal dan nasi padang akan saling bertumpu satu sama lain. Belum lagi industri ikutan yang turut berkembang seperti hotel, penyewaan sarana transportasi, pusat kesehatan masyarakat, dan pasar rakyat. Bahkan pembangunan kawasan pelabuhan yang maju akan mampu mendorong tumbuh kembangnya industri jasa lainnya, seperti perbankan, telekomunikasi, perumahan, sekolah, dan pusat-pusat rekreasi.
Sejauh ini DKP Provinsi Banten sudah menetapkan beberapa daerah sebagai kawasan industri kelautan perikanan Banten, diantaranya adalah : (1) Cluster rumput laut jenis cotoni di Pulau Panjang, Kab. Serang, (2) Cluster kerang hijau di Panimbang, Kab. Pandeglang, (3) Cluster Kerapu di Cigorondong, Kab. Pandeglang, (4) Cluster rumput laut jenis gracilaria di Tenjo Ayu, Tanara, Kab. Serang, (5) Cluster Ikan Hias di Kab. Dan Kota Tangerang, (6) Cluster perikanan tangkap di PPP Labuan, Kab. Pandeglang
2. Indikator Keberhasilan Sistem Kluster Perikanan
Sebuah kluster perikanan dianggap berhasil apabila : Terjadi peningkatan investasi yang signifikan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi, Tercapainya peningkatan pendapatan nelayan dan/atau pembudidaya melalui kegiatan industri dan pasar lokal/ekspor, dan terlaksananya pemberdayaan masyarakat nelayan dan/atau pembudidaya sehingga mampu memposisikan diri sebagai pelaku ekonomi yang unggul. Selain itu dapat terwujud pelestarian lingkungan secara berkelanjutan, serta terlaksananya pengembangan jasa kelautan (non pariwisata) untuk menunjang pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
3. Peran Pengawasan dan Pengendalian dalam Pengembangan Kluster Perikanan
Kawasan industri kelautan perikanan sebagai sebuah sistem, memerlukan mekanisme pengelolaan yang handal agar indikator keberhasilan sebagaimana disebut dimuka dapat dicapai. Mekanisme pengelolaan ini penting untuk menjamin seluruh operasional kawasan berlangsung secara efektif dan efisien. Dari sudut pandang WASDAL, mekanisme pengelolaan itu sekurangnya meliputi :
• Tersedianya Lembaga Pengelola
• Tersedianya Sistem dan Prosedur Operasional (SOP)
• Tersedianya Prasarana Dasar dan Sarana Penunjang
• Tersedianya Perencanaan Kawasan dan Perencanaan Teknis
• Tersedianya Pusat Informasi Kawasan
• Tersedianya Forum Koordinasi antar Pelaku di Kawasan
• Tersedianya Lembaga Pengawas
Dengan komponen-komponen pengelolaan di atas, maka peran WASDAL dalam pengembangan kluster kelautan perikanan tidak boleh dipahami secara sempit sebagai kegiatan patroli kapal inspeksi saja, tetapi harus dipahami sebagai sebuah kegiatan besar, yang target kinerjanya adalah memastikan bahwa semua komponen yang mendukung terselenggaranya kegiatan cluster tersebut telah berjalan sesuai rencana.
Selain itu bidang pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan juga dituntut untuk menjamin stabilitas kualitas lingkungan, terutama bagi kawasan – kawasan pengembangan budidaya perikanan yang sangat peka terhadap cemaran seperti : rumput laut, kerang hijau, dan kerapu.
Karena itu kegiatan pengendalian lingkungan di kawasan ini harus diarahkan pada identifikasi dan penanggulangan berbagai penyebab terjadinya degradasi kualitas perairan, seperti limbah industri, pertanian, maupun limbah domestik. Tim gabungan operasi terpadu pengawasan SDKP perlu berpatroli di sekitar cluster-cluster tersebut di atas untuk mengetahui ada tidaknya cemaran yang mengganggu, dan mengambil tindakan yang tepat.
4. Rekomendasi Kebijakan
a. Perlunya Lembaga Pengelola Kawasan
Sebuah cluster industri kelautan perikanan yang didalamnya beroperasi berbagai industri yang saling kait mengait, idealnya dikelola oleh sebuah lembaga yang bekerja secara purna waktu untuk mengatur jalannya rantai bisnis di dalamnya.
Lembaga ini harus memikirkan seluruh prasarana dasar dan sarana penunjang yang diperlukan seperti pembangunan jalan, dermaga, listrik, telpon, air bersih, moda transportasi, pelataran parkir, masjid, dan prasarana/sarana lainnya.
Rancangan kebutuhan prasarana dasar dan penunjang ini kemudian disampaikan kepada DKP untuk dikomunikasikan kepada lembaga terkait lainnya, seperti Dinas PU, Dinas Pertambangan dan Energi, PT. Telkom, Perusahaan Daerah Air Minum, dan berbagai perusahaan swasta yang relevan untuk kemungkinan ditanamkannya investasi. Dengan perencanaan kawasan yang jelas dan didukung oleh perencanaan-perencanaan teknis, baik lembaga pemerintah maupun swasta akan melihat bahwa pengembangan kawasan ini memang layak untuk didukung dan dibesarkan.
Selain memetakan kebutuhan prasarana dasar, lembaga pengelola juga harus mengelola data dan informasi, membuat regulasi, memonitor kegiatan kawasan, dan menyelenggarakan kegiatan fasilitasi untuk seluruh pelaku yang ada di kawasan.
Pengalaman membuktikan bahwa berbagai cluster industri di Indonesia yang sudah berhasil seperti kota-kota mandiri, kawasan berikat, kawasan pengembangan ekonomi terpadu, dan kawasan industri lainnya, seluruhnya memiliki badan pengelola kawasan yang profesional.
b. Penanganan Gangguan Masalah Sosial
Di tengah kondisi perekonomian yang sulit, sangat mungkin terjadi pengembangan cluster kelautan perikanan terganggu oleh masalah-masalah sosial yang ada disekitarnya. Masalah seperti pencurian, pengrusakan, intimidasi keamanan, dan lain-lain, bisa menyebabkan terganggunya upaya pengembangan cluster. Untuk itu Tim Operasi Terpadu Wasdal SDKP perlu menerapkan konsep ”mencegah” lebih baik daripada ”mengobati” dengan melakukan deteksi dini terhadap semua potensi masalah sosial disekitar kawasan, dan mengambil tindakan antisipasi yang diperlukan.
c. Penataan Cluster Perikanan Tangkap
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kab. Pandeglang, meskipun baru saja naik statusnya dari PPI menjadi PPP, tetapi bukan berarti bahwa kawasan ini sudah layak disebut sebagai sebuah cluster perikanan tangkap. Perlu upaya ekstra keras dari pemerintah maupun swasta untuk menata kawasan ini menjadi cluster perikanan tangkap yang handal, mengingat banyak komponen industri di dalamnya belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Selain sistem kepelabuhanan dan kelengkapannya, hal yang paling perlu mendapat perhatian dari cluster perikanan tangkap ini adalah :
1. Penataan jenis dan jumlah kapal perikanan, alat tangkap, alat bantu penangkapan, jalur penangkapan serta wilayah penangkapan.
2. Peningkatan apresiasi dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Tim Operasi Terpadu Pengendalian SDKP juga perlu meningkatkan kegiatan penaatan dan penegakan hukum di kawasan ini, dengan melakukan uji petik terhadap kapal perikanan yang memasuki pelabuhan pangkalan dengan memeriksa : kesesuaian dokumen perijinan; kesesuaian alat penangkap ikan; kesesuaian alat Bantu penangkapan ikan; kesesuaian fisik kapal; dan kesesuaian ikan hasil tangkapan. Selain itu dilakukan Uji petik terhadap kapal perikanan yang akan meninggalkan pelabuhan pangkalan untuk melakukan operasi penangkapan atau pengangkutan ikan dengan memeriksa : Kesesuaian dokumen perizinan; Kesesuaian alat penangkapan ikan; Kesesuaian alat bantu penangkapan; Kesesuaian fisik kapal, dan Kesesuaian awak kapal (crew list), serta perlunya sosialisasi tentang Ketentuan Perizinan Usaha Penangkapan Ikan, dan Pelayanan Dokumen Penangkapan Ikan.***

PERAN WASDAL DI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Oleh : Ir. Rachmat Soegiharto

Tingginya tingkat degradasi lingkungan dan kemiskinan di wilayah pesisir merupakan isu utama pembangunan wilayah pesisir di Provinsi Banten. Kondisi tersebut menurut para ahli disebabkan karena tidak jelasnya sistem perencanaan wilayah pesisir, pesatnya pertumbuhan penduduk, tidak sinkronnya pembangunan antar sektor, tidak serasinya hubungan antar perundang-undangan bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir, kurang terkendalinya pemberian izin-izin, implementasi otonomi daerah yang kurang serasi, dan ketidakberdayaan pemerintah/aparatur dalam kegiatan pengendalian. Untuk mengatasi masalah ini tentu diperlukan upaya pengendalian yang sungguh-sungguh terintegrasi, dan berkesinambungan.
Sejatinya, kegiatan pengawasan dan pengendalian (wasdal) sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari konsep besar wasdal SDKP secara keseluruhan. Sebagai bagian integral dari kegiatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan, amanat pokok kegiatan pengawasan dan pengendalian SDKP adalah turut mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan.
Pemanfaatan SDKP yang sangat tinggi di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti minyak, gas dan energi, perikanan, wisata bahari, industri kelautan, bangunan kelautan, angkutan laut, serta jasa kelautan lainnya, termasuk eksploitasi harta karun/ barang berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT) yang mempunyai nilai ekonomis dan nilai sejarah tinggi merupakan tantangan yang tidak ringan bagi pelaksanaan wasdal SDKP. Eksploitasi yang berlebih telah secara nyata menjadikan defisit sumberdaya yang serius, yang berdampak pada rusaknya lingkungan.
Secara kelembagaan, tugas pengawasan dan pengendalian SDKP juga merupakan bagian integral dari sistem pengelolaan SDKP. Artinya tugas wasdal dimaksudkan untuk menertibkan, mengatur, dan menindak mereka yang melanggar dalam pemanfaatan SDKP.
Untuk mendukung tugas wasdal tersebut, beberapa program yang telah dikembangkan di tingkat pusat antara lain : penyediaan perangkat peraturan perundangan, pembangunan kelembagaan pengawasan yang didukung oleh SDM pengawas yang memadai, peningkatan sarana prasarana pengawasan yang didukung oleh teknologi terkini, peningkatan operasional pengawasan di laut, serta peningkatan peran serta masyarakat dalam pengawasan. Sedangkan disisi lain, terhadap para pelanggar akan diproses secara hukum sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
1. Kebijakan Wasdal SDKP
Kebijakan wasdal SDKP diarahkan untuk mewujudkan visi pengelolaan SDKP secara bertanggungjawab, agar potensinya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Visi ini kemudian diikuti oleh misi pertama yaitu meningkatkan kualitas wasdal secara sistematis dan terintegrasi, dan misi kedua meningkatkan apresiasi dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan SDKP.
Agar misi peningkatan kualitas wasdal secara bertahap dapat tercapai, maka DKP telah menetapkan sasaran berupa :
• Tersedianya sarana dan prasarana pengawasan
• Menurunnya tingkat pelanggaran dalam pemanfaatan SDKP
• Meningkatnya ketaatan kapal dalam mengisi log book dan melapor di pelabuhan pangkalan.
• Menurunnya tingkat kerusakan fungsi ekosistem
• Meningkatnya penyelesaian pelanggaran bidang SDKP
• Terjalinnya koordinasi lintas sektor dalam penegakan hukum
Untuk misi kedua, yaitu peningkatan apresiasi dan partisipasi masayarakat dalam pengawasan SDKP, maka sasaran yang ditetapkan adalah terbentuknya jaringan kelompok masyarakat yang aktif berpartisipasi dalam SISWASMAS (sistem pengawasan SDKP berbasis masyarakat))
2. Pengembangan Sistem, SDM, dan Kelembagaan Pengawasan
Kegiatan ini meliputi :
• Penyiapan perangkat peraturan bidang pengawasan SDKP
• Pembinaan dan pengembangan unit-unit pengawasan
• Publikasi dan komunikasi
• Pembinaan dan pengembangan SDM Pengawasan
• Koordinasi lintas sektor penanggulangan IUU Fishing
• Penyusunan program, data, pelaporan, dan monev kegiatan
Untuk meningkatkan efektivitas kapal pengawas, maka kepada para ABKnya perlu diberikan pelatihan dasar pengawakan kapal (L1-L2), sedangkan untuk calon tenaga pengawas diberikan pelatihan dasar pengawasan penangkapan ikan, dan pengawasan sumberdaya kelautan.
ABK dan/atau Petugas pengawas juga perlu diberikan pelatihan menembak dengan senjata laras panjang dan laras pendek, pelatihan menyelam, dan pelatihan penyidikan.
3. Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Perikanan
Kegiatan ini meliputi :
• Pengembangan fasilitas teknologi informasi untuk pengawas perikanan
• Pembuatan pedoman, juknis, juklak, SOP pengawasan perikanan dan kelautan.
• Pengawasan aktivitas pengolahan, distribusi, dan pemasaran hasil perikanan.
• Pengawasan kegiatan budidaya perikanan.
• Supervisi penerapan SLO dan LBP di pelabuhan pangkalan kapal perikanan.
• Operasi pengawasan terpadu bekerjasama dengan aparat hukum terkait.
• Pemeriksaan fisik dan dokumen kapal perikanan.
• Pelatihan pengawas perikanan.
• Monitoring dan evaluasi kegiatan pengawasan perikanan.
Sejalan dengan diberlakukannya larangan penggunaan formalin untuk pengawet bahan makanan, maka sesuai Surat Edaran Ditjen P2SDKP Nomor SE 01/P2SDKP.13/PD.130/II/2006, DKP Provinsi dan Kabupaten/Kota akan terus melakukan operasi penertiban diseluruh sentra-sentra produksi ikan di wilayah Banten, bekerja sama dengan petugas Laboratorium Perikanan, dan Bareskrim Polri.
4. Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan
Kegiatan ini meliputi :
• Pengawasan dan pengendalian ekosistem laut dan perairan umum
• Operasi pengawasan terumbu karang
• Pengawasan dan pengendalian pemanfaatan karang
• Pengendalian pencemaran, pengeboman, peracunan.
• Pengawasan dan pengendalian limbah B3 dan tailing di pesisir dan laut.
• Pengawasan pemanfaatan benda berharga muatan kapal tenggelam (BMKT).
• Pengawasan penambangan pasir laut dan penambangan tanpa izin (PETI).
• Pengawasan dan pengendalian bangunan laut
• Pengawasan kawasan suaka, pesisir, dan pulau-pulau kecil
Khusus untuk pengawasan pemanfaatan terumbu karang, maka DKP perlu melakukan koordinasi dengan instansi terkait, dan dengan para pihak pemanfaat karang untuk meminimalkan penyalahgunaan kuota yang diberikan oleh BKSDA, yaitu izin pengambilan/pengangkatan, pengumpulan, dan pengangkutan. Sedangkan izin yang dikeluarkan oleh DKP adalah izin lokasi pengambilan karang dan izin lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan karang hias. Berkaitan dengan ini maka perlu ada ketegasan dari aparat pemerintah daerah dalam memberikan izin pemanfaatan karang hias.
Kegiatan penting pengawasan sumberdaya kelautan lainnya adalah pengawasan terhadap pencemaran. Banyaknya limbah industri dan rumah tangga, masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan, serta masih terbatasnya aparat yang bertugas di bidang pengawasan pencemaran, membuat kegiatan pengawasan terhadap pencemaran ini menjadi tidak mudah. Namun demikian upaya pengendaliannya tetap harus dilaksanakan mengingat pencemaran membawa dampak yang sangat buruk terhadap ekosistem perairan.
5. Pengembangan Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat
Kegiatan ini meliputi :
• Sosialisasi, fasilitasi, dan pengembangan jaringan POKMASWAS
• Pengembangan komunikasi dan informasi SISWASMAS
• Penggalangan, penggerakan, dan pembinaan SISWASMAS
• Bantuan stimulan bagi Pokmaswas
• Evaluasi dan penilaian tahunan Pokmaswas
6. Peningkatan Sarana dan Prasarana Pengawasan
Kegiatan ini meliputi :
• Pengadaan peralatan pengawas
• Operasional peralatan pengawas
• Pembangunan pangkalan/stasiun/Pos Pengawas
• Penyediaan sarana dan fasilitas kerja
• Pengadaan alat komunikasi.
• Pengadaan seragam pengawas.
• Pembuatan sistem informasi saksi administrasi kapal perikanan
• Pengembangan VMS (Vessel Monitoring System)
Untuk Provinsi Banten yang kapal perikanannya rata-rata berukuran dibawah 30 GT, maka VMS yang dapat dikembangkan adalah jenis VMS Off Line, yang digunakan untuk mengetahui pergerakan kapal selama beroperasi di laut. Sistem ini dimaksudkan untuk mengetahui pola fishing ground kapal perikanan skala kecil, sebagai masukan dalam pengaturan pemberian izin penangkapan.
7. Peningkatan Operasional Kapal Pengawas
Kegiatan ini meliputi :
• Operasional, pemeliharaan rutin dan tahunan kapal pengawas
• Pembinaan ABK Kapal Pengawas
• Evaluasi dan rotasi kapal pengawas
8. Peningkatan Penaatan dan Penegakan Hukum
Kegiatan ini meliputi :
• Inventarisasi, pengolahan, dan penyajian data tindak pidana perikanan
• Forum koordinasi penanganan tindak pidana perikanan
• Sosialisasi dan apresiasi penegakan hukum
• Pengembangan PPNS perikanan.
• Bimbingan teknis dan pembinaan penyidikan tindak pidana perikanan bagi PPNS perikanan.
• Gelar perkara, penyidikan, dan pemberkasan perkara tindak pidana perikanan
• Penanganan barang bukti dan tersangka
9. Masalah IUU Fishing
Secara spesifik terdapat 6 jenis IUU Fishing, yaitu :
• Penangkapan ikan tanpa izin
• Penangkapan ikan dengan izin palsu
• Penangkapan ikan tidak dilaporkan di pelabuhan pangkalan
• Penangkapan ikan dengan alat tangkap terlarang
• Penangkapan ikan di area yang tidak sesuai izin
• Penangkapan ikan dengan alat tangkap yang tidak sesuai dengan izin
Untuk mengatasi masalah IUU Fishing, pemerintah akan terus melakukan kampanye secara terintegrasi yang melibatkan berbagai pihak terkait, seperti LSM/NGO/Foundation, media cetak dan televisi, perusahaan makanan, perusahaan pengolah produk laut, dan lainnya. Kampanye ini dimaksudkan agar tercipta kepedulian masyarakat (awareness) terhadap pentingnya pemberantasan penangkapan ikan ilegal tersebut.
10. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK), kini para pengusaha/ investor di wilayah pesisir dapat lebih terlindungi kegiatan bisnisnya dengan adanya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). HP-3 merupakan suatu hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
Terkait dengan ketentuan HP-3 ini maka dalam kegiatan patroli terpadu pengawasan SDKP, DKP Banten perlu melakukan verifikasi dilapangan terhadap seluruh bentuk penguasaan lahan lahan pesisir/ pulau-pulau kecil.
11. Optimalisasi Penanganan Pelanggaran
Untuk meningkatkan kinerja penegakan hukum di bidang perikanan, telah dibentuk Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005. Melalui peraturan menteri ini penegakan hukum di bidang perikanan akan terus ditingkatkan dengan melakukan terobosan :
Mengamankan dan merawat barang bukti
Mengantisipasi terjadinya tuntutan (pra peradilan, class action, dan tuntutan perdata) dari tersangka karena kesalahan prosedur penangkapan, penuntutan, dan perlakukan terhadap tersangka.
Mempercepat proses peradilan
12. Pengendalian Di Wilayah Pesisir
Tingginya tingkat degradasi lingkungan dan kemiskinan di wilayah pesisir merupakan isu utama pembangunan wilayah pesisir di Provinsi Banten. Kondisi tersebut diyakini oleh para ahli disebabkan karena :
a. Tidak jelasnya sistem perencanaan wilayah pesisir,
b. Pesatnya pertumbuhan penduduk,
c. Tidak sinkronnya pembangunan antar sektor
d. Tidak serasinya hubungan antar perundang-undangan bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir.
e. Kurang terkendalinya pemberian izin-izin
f. Implementasi otonomi daerah yang kurang serasi
g. Ketidakberdayaan pemerintah/aparatur dalam kegiatan pengendalian
Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan upaya pengawasan dan pengendalian SDKP yang ekstra keras. Pengendalian kegiatan di wilayah pesisir dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan pemanfaatan, perlindungan, dan pelestarian sumberdaya pesisir secara terpadu. Dengan kegiatan pengendalian ini diharapkan pemanfaatan potensi ekonomi dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dapat lebih optimal dan berkelanjutan. ***

MITIGASI BENCANA DI KAMPUNG NELAYAN Upaya Sistematis Mengurangi Kerugian Jiwa, Harta Benda, dan Kerusakan Lingkungan

Oleh : Ir. RACHMAT SOEGIHARTO

Hampir semua kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir. Berbagai kegiatan mulai dari permukiman, perdagangan, perhubungan, pengembangan industri, dan berbagai sektor lainnya berdesakan di wilayah ini. Diperkirakan 60% populasi penduduk Indonesia, dan 80% lokasi industri berada di wilayah pesisir.
Berkembangnya berbagai kepentingan di wilayah pesisir membuat wilayah tersebut menyangga beban lingkungan yang sangat berat akibat pemanfaatan yang tidak terkendali, tidak teratur serta tidak mempertimbangkan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan.
Selain beban karena aktivitas manusia, wilayah pesisir juga terbebani dengan potensi bencana alam seperti gempa, tsunami, banjir, badai, erosi pantai, dan kenaikan paras muka air laut (Sea Level Rise/SLR). Perkampungan nelayan sebagai bagian dari ekosistem wilayah pesisir juga tidak luput dari potensi bencana tadi.
Sejak tahun 1960 s.d. 2004 di wilayah pesisir Indonesia telah terjadi 19 kali tsunami, yang berarti setiap 2,5 tahun sekali terjadi tsunami. Di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) tinggi gelombang tsunami mencapai 30 meter, dengan korban yang meninggal dan hilang mencapai lebih dari 300 ribu orang. Di Provinsi Banten sendiri selama semester I tahun 2006 telah terjadi lima kali gempa dengan kekuatan 4,1 s.d 5,6 skala Richter dengan pusat gempa terdekat terjadi di Selat Sunda dengan kedalaman 14 km.

Jenis bencana lain yang sudah menjadi langganan Indonesia setiap tahun adalah banjir. Jakarta pernah dilanda banjir dahsyat pada tahun 2002. Banjir tersebut ditengarai terjadi karena curah hujan tinggi, perubahan tata guna lahan, bangunan-bangunan liar disepanjang bantara sungai, pembuangan sampah ke sungai, penurunan tanah akibat pengambilan air tanah, reklamasi, dan drainase yang tidak memadai.
Selain hilangnya rumah dan berbagai infrastruktur, banjir juga menyebabkan hilangnya produksi pertanian, hilangnya produksi tambak, terjadinya perubahan habitat pesisir, peningkatan erosi, dan peningkatan sedimentasi.
Bencana lain yang juga telah berlangsung sepanjang tahun adalah erosi pantai yang terjadi di banyak wilayah pesisir di Indonesia. Erosi menyebabkan banyak hilangnya lahan bernilai ekonomis, merusak permukiman, pertambakan, dan sarana perhubungan.


KONDISI DAN POTENSI GEMPA & TSUNAMI DI BANTEN
Kelompok pantai yang rawan bencana tsunami di Indonesia terutama adalah kelompok pantai yang menghadap ke Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, serta kelompok pantai yang menghadap ke laut dimana terdapat pertemuan dua lempeng. Kelompok pantai tersebut adalah pantai barat Sumatra, pantai selatan Pulau Jawa, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya, dan hampir seluruh pantai di Sulawesi.
Khusus untuk Provinsi Banten, potensi gempa dan tsunami meliputi Selat Sunda wilayah Provinsi Banten, Selat Sunda wilayah Provinsi Lampung bagian selatan, Samudra Hindia sebelah barat Provinsi Lampung, Samudra Hindia sebelah selatan Kabupaten Sukabumi, dan daratan Provinsi Banten sendiri.
Potensi gempa di Selat Sunda wilayah Provinsi Banten magnitude nya tercatat kurang dari 6.0 skala Richter, kecuali wilayah Ujungkulon berkisar 6.0 – 7.0 Skala Richter. Peluang terjadinya tsunami dikedua wilayah ini cukup kecil.

Di Selat Sunda wilayah Provinsi Lampung bagian selatan potensi terjadinya gempa dan tsunami yang mengancam pantai barat Provinsi Banten cukup besar, dengan waktu tempuh gelombang tsunami 30 – 45 menit.
Di Samudra Hindia sebelah barat Provinsi Lampung, potensi gempa dan tsunami yang mengancam pesisir barat dan pesisir selatan Provinsi Banten juga cukup besar, dengan waktu tempuh rata-rata gelombang tsunami 90 – 135 menit
Gempa bumi dan tsunami di Samudra Hindia sebelah selatan Kabupaten Sukabumi juga merupakan potensi ancaman bagi pesisir selatan Provinsi Banten. Di wilayah ini waktu tempuh rata-rata gelombang tsunaminya adalah 90 – 120 menit
Di daratan Provinsi Banten sendiri, potensi gempa dengan magnitude 4.0 – 7.0 Skala Richter berpeluang terjadi di Kabupaten Pandeglang sebelah selatan, yang mencakup Kecamatan Sumur, Cimanggu, Cibaliung, Cikeusik, Cigeulis, Munjul, Angsana, Panimbang, Pagelaran, Picung, dan Kecamatan Bojong.


TELUK SEBAGAI KAWASAN YANG RENTAN TSUNAMI
Kawasan teluk dan bagian yang melekuk dari pantai memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan kawasan lainnya. Sebab dengan topografi seperti itu energi yang dihempaskan semakin tinggi ketika mencapai teluk dan lekukan pantai. Hal ini akibat dari berkumpulnya energi dari laut lepas ketika gelombang berada di celah yang lebih sempit. Kondisi ini akan sangat tidak menguntungkan jika topografi pantainya landai dan tanpa tanaman pelindung seperti hutan mangrove, kelapa, waru, atau hutan pantai lainnya.
Pada kondisi tanpa tanaman pelindung ini gelombang tsunami yang besar baik ketinggian maupun kecepatannya, akan dengan leluasa menyusup ke daratan dan menghancurkan apa saja yang ada disitu. Bisa dibayangkan bila tempat yang landai itu dipakai untuk perkampungan nelayan atau kawasan industri.


PERINGATAN DINI ADANYA TSUNAMI
Untuk bencana tsunami maka sistem peringatan dini yang perlu diketahui masyarakat nelayan antara lain adalah :
a. Tsunami akan berpotensi terjadi bila kekuatan gempa lebih dari 6,5 skala richter
b. Bila pusat gempa di dasar laut kedalamannya kurang dari 60 km
c. Terjadi surut muka laut secara tiba-tiba
d. Tercium bau garam yang sangat menyengat
e. Terlihat garis hitam di ujung cakrawala
f. Terdengar bunyi ledakan dikejauhan

NAIKNYA PARAS MUKA LAUT (SEA LEVEL RISE)
Salah satu dampak dari peningkatan efek rumah kaca akibat peningkatan kegiatan manusia adalah terjadinya pemanasan global (global warming) yang pada akhirnya akan mengakibatkan pemuaian air laut yang berakibat pada Sea Level Rise (SLR). Diperkirakan akan terjadi SLR sebesar kurang lebih satu meter pada tahun 2100 dihitung mulai tahun 1990 (IPPC, 1990 dalam Diposaptono, 2006). Bila garis pantai yang dimiliki Indonesia adalah 81.000 km dan asumsi bahwa mundurnya garis pantai akibat SLR sekitar 50 meter, maka lahan pantai yang hilang dalam seratus tahun mencapai 405.000 ha atau per tahunnya 4.050 ha.
Selain hilangnya lahan, dampak lain SLR adalah terjadinya peningkatan frekuensi dan intensitas banjir karena efek pembendungan, dan semakin besarnya intrusi air laut semakin besar. Penyusupan air laut ke wilayah daratan ini berdampak pada keamanan bangunan pantai dan lingkungan biotik.


EROSI DAN SEDIMENTASI
Erosi pantai dipengaruhi oleh angin, gelombang, arus, pasang surut, dan adanya gangguan yang diakibatkan oleh ulah manusia seperti konstruksi bangunan pada pantai, penambangan karang dan pasir, dan penebangan mangrove.


KERUSAKAN MANGROVE DAN TERUMBU KARANG
Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, seperti penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun sianida, dan aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, penambatan jangkar perahu, serta akibat dari sedimentasi (meningkatnya erosi dari lahan daratan).
Berdasarkan survey line transect yang dilakukan oleh P3O LIPI, penutupan karang hidup dengan kondisi sangat baik di Indonesia hanya tinggal 6,2%, dalam kondisi baik 23,72%, kondisi rusak 28,3%, dan 41,78% dalam kondisi rusak berat (Suharsono 1998 dalam Diposaptono, 2006).

Ekosistem hutan mangrove yang merupakan struktur perlindungan alami pantai, juga mengalami degradasi yang cukup mengkhawatirkan. Selama periode 1982 – 1993 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove dari sekitar empat juta hektar menjadi sekitar 2,5 juta ha (Dahuri et al, 1996 dalam Diposaptono, 2006). Penyebab penurunan luasan hutan mangrove tersebut adalah karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain, seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri, dan permukiman di kawasan pesisir, serta penebangan hutan mangrove untuk kebutuhan kayu bakar, arang, dan bahan bangunan


MEKANISME PENANGANAN BENCANA
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan/atau keduanya yang mengakibatkan korban manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat (Sekretariat Bakornas, 2001 dalam Diposaptono, 2006).
Penanganan bencana di pesisir, di kampung nelayan, dan juga di lokasi-lokasi lain, secara umum dibagi dalam tiga tahap, yaitu sebelum terjadi bencana, pada saat terjadi bencana, dan pasca bencana.
Kegiatan penanganan sebelum terjadi bencana dikenal dengan nama mitigasi, yaitu proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan dampak negatif bencana. Upaya yang dapat dilakukan pada tahap ini antara lain adalah :
a. Mempersiapkan sumberdaya penanganan bencana (dana, manusia, dan material)
b. Penguatan sistem jaringan komunikasi dan informasi
c. Penyusunan peraturan perundangan
d. Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah, Tata Guna Lahan, Zonasi
e. Pelaksanaan sosialisasi, penyuluhan, latihan, dan simulasi
f. Penyiapan lahan dan jalur-jalur evakuasi

Kegiatan penanganan pada saat terjadinya bencana dikenal dengan nama “Tanggap Darurat”. Pada tahap ini kegiatan penanganan bencana yang dilakukan adalah :
a. Mobilisasi tenaga personil
b. Pembuatan posko dan distribusi bantuan
c. Investigasi dan penyiapan data korban
d. Tindakan medik darurat dan rujukan
e. Evakuasi korban
f. Pengamanan

Pada tahapan pasca bencana tindakan yang dilakukan adalah rehabilitasi dan rekonstruksi, dimana kegiatannya dapat berupa :
a. Penampungan sementara korban bencana
b. Rehabilitasi mental, kesehatan, sosial, dan ekonomi,
c. Rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana
d. Pengamanan

Pelaksanaan operasional penanganan bencana di perkampungan nelayan dan wilayah pesisir lain lakukan secara fungsional oleh Dinas/Badan/Biro/Kantor/Instansi terkait lain di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi, dengan mengerahkan kemampuan pemerintah, swasta, dan masyarakat secara terpadu.
Keterpaduan pelaksanaan penanganan bencana dilaksanakan dalam wadah Satkorlak-PB (Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanganan Bencana), mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi.
Pada tahap sebelum bencana terjadi maka kegiatan pencegahan dan mitigasi dilaksanakan secara fungsional oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten dan kabupaten/kota, serta dinas-dinas lain yang terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Koordinasi keterpaduan program dan operasional dlaksanakan dalam wadah Satkorlak-PB

KEBUTUHAN SUMBERDAYA UNTUK PENANGANAN BENCANA
o Penyiapan buffer stock bahan pangan dan sandang
o Penyiapan sarana dan prasarana evakuasi korban
o Penyediaan lahan evakuasi
o Pembuatan tower evakuasi gempa dan tsunami
o Penyediaan alat berat
o Penyediaan obat-obatan
o Penyedian Ambulance
o Penyediaan tenaga medis
o Rumah sakit darurat
o Rumah sakit rujukan
o Penyediaan kantung mayat
o Penyediaan trauma centre
o mengaktifkan sistem komunikasi berjaringan (seluruh pengguna : Pemprov, Pemkab, TNI, POLRI, RAPI, ORARI, Radio Penyiaran)
o Penyiapan sarana lifeguard
o Pembuatan pos pemantau lifeguard
o Pembuatan peta rawan daerah bencana
o Penyediaan buffer stock benih dan pupuk
o Penyediaan brosur-brosur informasi tanggap darurat industri
o Penyediaan darah


JARINGAN INFORMASI GEMPA DAN TSUNAMI
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) tingkat pusat sebagai instansi yang paling berwenang menginformasikan adanya gempa dan tsunami di Indonesia akan menghubungi markas besar kepolisian RI (Mabes POLRI). Informasi ini kemudian akan diteruskan ke daerah melalui POLDA, POLRES, lalu POLSEK, dan kemudian ke masyarakat. Kantor kepolisian dipilih sebagai lembaga penyampai informasi karena lembaga ini ada hingga ke pelosok daerah dan siaga sehari 24 jam.


MITIGASI SEBAGAI TINDAKAN PREVENTIF
Mitigasi saat ini dipandang sudah menjadi prioritas untuk segera dilakukan ketimbang respon pasca bencana. Sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif dari bencana yang diperkirakan akan terjadi, maka mitigasi perlu dilakukan secara komprehensif, yaitu kombinasi upaya fisik/struktur dan non fisik/non struktur.
Mitigasi secara fisik dapat dilakukan baik secara alami maupun secara buatan. Sedangkan mitigasi secara non fisik menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi baik fisik maupun upaya lainnya.
Upaya mitigasi fisik secara buatan dikenal dengan pendekatan hard structural countermeasure, misalnya pembuatan breakwater (pemecah gelombang), seawall (tembok laut), rivetmen, groin, jetty, dan retrofitting (penguatan bangunan rumah). Di Indonesia tidak mudah melakukan pencegahan bencana dengan membangun tembok laut atau breakwater untuk keseluruhan pantai seperti yang dilakukan di Jepang karena biayanya sangat mahal. Selain itu tembok laut menimbulkan masalah sosial karena penduduk yang tinggal di belakang bangunan merasa tidak nyaman, baik dari segi kemudahan akses maupun dari segi psikologis dimana penduduk merasa dipenjara.
Upaya mitigasi fisik secara alami dilakukan misalnya dengan menanam cemara laut, waru laut, dan mangrove. Tetapi upaya perlindungan alami ini sering terkendala dengan permasalahan kesesuaian lahan.

Upaya mitigasi non fisik diantaranya dengan pendidikan, pelatihan, penyadaran masyarakat, tata ruang, zonasi, tata guna lahan, relokasi, peraturan perundangan, AMDAL, dan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal Zone Management-ICZM).

TABEL 1. MITIGASI BENCANA DAN PENCEMARAN
NO. FISIK NON FISIK
1.




2. ALAMI
Terumbu karang, sand dunes, vegetasi pantai (cemara laut, waru laut, mangrove, dsb)

BUATAN
Breakwater, seawall, rivetmen, groin, jetty, tanggul, sudetan, konstruksi pelindung bencana, shelter o Pembuatan peta rawan bencana
o Peraturan perundangan
o Sistem peringatan dini
o Relokasi
o Tata ruang, zonasi, Tata Guna Lahan
o Penyadaran masyarakat
o Pelatihan/Penyuluhan
o AMDAL
o Pengentasan kemiskinan
o Penetapan sempadan pantai dan sungai
o Integrated Coastal Zone Management




MITIGASI MELALUI PENDEKATAN PENGELOLAAN PESISIR TERPADU-PPT (Integrated Coastal Zone Management)

Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir seperti industri berat, industri penghasil bahan baku, proyek infrastruktur seringkali menimbulkan degradasi terhadap kualitas lingkungan pesisir. Karena itu pelaksanaan pembangunan berbasis pengelolaan pesisir terpadu-PTT (intergrated coastal zone management/ ICZM) akan meningkatkan kualitas ekosistem pesisir. Aplikasi pembangunan pesisir dan laut berkelanjutan dalan ICZM meliputi kaidah ekologi, ekonomi, sosial politik & budaya, dan kaidah hukum/kelembagaan.
Kaidah ekologi meliputi perencanaan pengelolaan pesisir terpadu (penyusunan rentsra, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi), pemanfaatan optimal, pengendalian pencemaran, dan rancangan-rancangan yang ramah lingkungan).
Kaidah ekonomi, sosial, politik, dan budaya adalah bahwa pembangunan wilayah pesisir memperhatikan aspek peningkatan kesejahteraan, pemerataan, terlindunginya asset-aset sosial budaya dan keagamaan, dan transparansi. Sedangkan kaidah hukum/ kelembagaan adalah dengan ditegakkannya aturan, etika.

PPT pada dasarnya merupakan upaya untuk mengelola elemen-elemen di wilayah pesisir, baik yang terkait dengan sumberdaya di kawasan pesisir maupun aktivitas manusia yang mempengaruhinya.
PPT merupakan konsep pembangunan terpadu yang melibatkan semua stakeholder (pemerintah, masyarakat, swasta), sehingga PPT merepresentasikan perubahan pendekatan pembangunan di pesisir dari reaksioner dan berorientasi pada masalah (problem oriented approach) menjadi terencana, bersifat pre-emptiv, dan menggunakan pendekatan pengelolaan (management based approach).
Dengan konsep PTT ini para pengambil kebijakan di wilayah pesisir dapat mengelola pembangunan yang sifatnya multisektor beserta dampak kumulatifnya, dalam batas-batas keseimbangan yang dapat ditolerir oleh masyarakat dan lingkungan (daya dukung lingkungan dan sosial). Keseimbangan dicapai melalui tiga komponen penting yaitu :
a. Keseimbangan ekologis
b. Keseimbangan pemanfaatan, dan
c. Keseimbangan dalam pencegahan bencana (mitigasi)

Penerapan ICM/PTT secara konsisten akan berdampak :
a. mengurangi potensi konflik antar pemanfaat sumberdaya wilayah pesisir
b. memberikan kepastian investasi karena penempatana kegiatan dan regulasinya yang sudah mengantisipasi kerusakan dan bencana alam.
c. Menciptakan efisiensi dan penghematan anggaran karena banyak biaya harus dikeluarkan untuk rehabilitasi kerusakan lingkungan pesisir dan bencana alam.
d. Memberikan pengertian dan kesadaran pada masyarakat pesisir tentang kondisi, kerentanan, dan kerawanan di wilayah pesisir.
e. Melindungi aktivitas ekonomi masyarakat pesisir seperti budidaya perikanan, industri garam tradisional, dan lain-lain.

Integrated Coastal Zone Management merupakan alternatif yang dipandang lebih baik untuk mengatasi potensi tsunami dipesisir ketimbang pembuatan bangunan fisik pelindung atau reklamasi yang dinilai mahal, dan pemindahan perkampungan nelayan/masyarakat pesisir akan menimbulkan masalah sosial budaya.


KESEIMBANGAN PENGELOLAAN PESISIR
Kondisi ekosistem pesisir yang sehat akan memastikan keberlanjutan kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia. Sebagai contoh, kesehatan mangrove dan karang mempengaruhi produktivitas perairan dan perikanan, juga mempengaruhi kegiatan wisata bawah air dan bangunan-bangunan pesisir dari hempasan ombak.
Disisi lain kesehatan mangrove dan karang sangat dipengaruhi oleh kegiatan pemanfaatan wilayah dan sumberdaya di pesisir, baik karena limbah, konstruksi fisik, maupun perubahan profil pesisir.
Dan yang terakhir, kondisi ekologi dan kegiatan pemanfaatan oleh manusia akan hilang atau rusak bila kita tidak mempunyai konsep mitigasi bencana di wilayah pesisir, seperti tsunami, gempa, banjir, dan lain-lain.


Gambar 1. Komponen yang diperlukan dalam keseimbangan pengelolaan pesisir

Hal-hal yang terkait dengan lingkungan dan kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang perlu dikelola dengan baik adalah :
a. Lingkungan biofisik
b. Habitat dan infrastruktur penting, seperti : mangrove, pulau-pulau kecil, terumbu karang, dan industri minyak lepas pantai
c. Aspek sosial ekonomi, yaitu : populasi penduduk dan tenaga kerja, profil kelembagaan dan hukum, kegiatan perekonomian dan pembangunan
d. Aktivitas ekonomi, seperti : industri migas, perikanan budidaya dan tangkap, hutan produksi (mangrove), pertambangan, wisata, dan perhubungan
e. Bencana alam, seperti : erosi pantai, pasang tinggi, gempa, tsunami, dan banjir

Tiga tujuan utama pengelolaan wilayah pesisir terpadu (PTT) adalah :
a. Tujuan pertama, melindungi integritas ekologi dari ekosistem pesisir. Beberapa ekosistem berada dalam kondisi ekstrim seperti hempasan angina, salinitas tinggi, dan kisaran perubahan temperatur yang tinggi. Tetapi pada saat yang sama ekosistem tersebut mendapatkan suplai nutrisi yang cukup banyak dari aliran sungai, dan kecukupan sinar matahari pada perairan dangkal yang mendukung produktivitas perairan. Dengan kondisi-kondisi ini maka pengelolaan pesisir harus memperhatikan nuansa-nuansa ekologis dari ekosistem pesisir tersebut.
b. Tujuan kedua, mencegah kelebihan-kelebihan material yang sifatnya merusak dan mencegah hilangnya sumberdaya akibat bencana seperti pasang yang ekstrim, ombak besar, badai, banjir, gempa bumi, tsunami, dan abrasi pantai.
c. Tujuan ketiga, membantu dalam menentukan kelayakan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan wilayah dan sumberdaya pesisir dan laut bagi kepentingan manusia, seperti perikanan tangkap, budidaya, pelabuhan, industri, perumahan, dan kawasan rekreasi.

Tujuan akhir dari ketiga tujuan tersebut di atas adalah untuk memadukan aktivitas-aktivitas pembangunan dan upaya pengelolaan yang berbeda oleh pihak-pihak yang berbeda (masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan lain-lain) dalam rangka mencapai ketiga tujuan di atas (ekologi, mitigasi, dan pemanfaatan).
Prinsip pengelolaan kawasan pesisir secara garis besar adalah :
a. Menghindari kegiatan pengembangan di daerah ekosistem yang rawan dan rentan
b. Mengusahakan agar sistem perlindungan alami tetap berfungsi dengan baik
c. Melindungi keselamatan manusia, harta benda, dan kegiatan ekonominya dari bahaya yang datang dari laut, dengan tetap memperhatikan aspek ekologi, kultur, sejarah, estetika, dan kebutuhan manusia akan rasa aman dan kesejahteraan.


MANGROVE SEBAGAI PERANGKAT MITIGASI FISIK ALAMI (Soft Structural CounterMeasure)
Sebagai negara yang kaya dengan vegetasi mangrove, Indonesia perlu belajar banyak dari negara-negara lain yang telah berpikir maju dalam penggunaan hutan mangrove sebagai perangkat mitigasi alami. Diantaranya adalah Taiwan yang membangun hutan mangrove secara besar-besaran untuk melindungi pantainya dari erosi dan abrasi akibat gelombang. Malaysia, Australia, dan Brazil adalah juga negara-negara yang telah maju dalam pengelolaan hutan pantainya.
Makin tebal hutan pantai maka tingkat peredaman tsunami makin tinggi, arus dan gaya hidrolis kian melemah. Untuk gelombang tsunami setinggi 3 meter dan lebar hutan pantai 50 meter maka tinggi genangan setelah melewati hutan pantai tinggal 82 persen, sedangkan arus setelah melewati hutan pantai itu tinggal 54 persen, dan gaya hidrolisnya tinggal 39 persen.
Bila lebar hutan pantai 400 meter, maka tsunami dengan ketinggian 3 meter jangkauan run-up nya tinggal 57 persen, tinggi genangan setelah melewati hutan pantai tinggal 18 persen, arusnya tinggal 24 persen, dan gaya hidrolis setelah melewati hutan pantai hanya tersisa satu persen.
Perlindungan pantai dengan mangrove membutuhkan ketebalan hutan tidak kurang dari 50-1000 meter, tergantung kondisi hidro-oseanografi dan ketinggian tsunami yang terjadi di daerah tersebut. Ketebalan hutan yang difungsikan sebagai lapisan penyangga (buffer zone) menurut Keppres 32/90 adalah 130 kali tinggi pasang surut.

Sebagai perangkat mitigasi alami, mangrove memiliki beberapa keuntungan, antara lain :
a. Penanganan abrasi lebih murah dibanding dengan membuat bangunan laut lain, dan mangrove dapat memberi dampak ikutan yang menguntungkan kualitas perairan disekitarnya.
b. Mangrove memiliki sistem akar yang kuat, tajuknya rapat dan lebat sehingga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai alami dan menahan intrusi air laut.
c. Secara estetika mangrove lebih baik daripada bangunan laut lainnya
d. Bangunan laut dapat menyebabkan erosi dan sedimentasi di tempat lain
e. Kawasan pertambakan dapat ditata ulang dengan sistem wanamina (silvofishery), yaitu perpaduan antara hutan mangrove dan perikanan
f. Mangrove dapat menetralisir lahan yang telah tercemar oleh logam berat.

Untuk perlindungan tsunami, erosi dan badai, maka daerah sempadan pantai perlu dihijaukan dengan mangrove. Demikian pula dengan kawasan pertambakan juga perlu ditata dengan menerapkan sistem wanamina (silvofishery), yaitu kombinasi antara perikanan dengan hutan mangrove.
Pola penghijauan empang bisa dengan pola empang parit atau pola komplangan. Empang parit adalah pola dimana dalam satu empang dibuat parit untuk budidaya perikanan sedangkan sisanya ditanami mangrove. Empang komplangan adalah pola dimana dalam satu empang, separo empang dipakai untuk budidaya perikanan dan sisanya ditanami mangrove. Pematang tambak yang ada juga perlu dihijaukan dengan mangrove.

Perbaikan dan peremajaan mangrove yang rusak merupakan langkah perlindungan pesisir alami yang ramah lingkungan. Penanganan ini dapat dikombinasi dengan bangunan sementara (hard measures) yang diharapkan dapat melindungi mangrove yang baru selama masa pertumbuhannya. Untuk daerah-daerah yang kondisi gelombangnya cukup mengganggu saat penanaman bibit mangrove, maka perlu dibuatkan offshore breakwater (alat peredam ombak-APO) sementara yang sejajar dengan pantai menggunakan kayu, bambu, atau tumpukan ban bekas. Diharapkan breakwater ini dapat melindungi mangrove dari serangan gelombang sampai mangrove mampu menahan gelombang sendiri. Konstruksi APO merupakan struktur semi permanen dengan umur konstruksi minimal 3 tahun.
Fungsi alat peredam ombak sejajar pantai (detached breakwater) ini disamping untuk meredam ombak dan mengambat arus juga dimaksudkan agar terjadi salient atau tombolo daerah antara alat peredam ombak dan garis pantai. Ombak yang mendekati alat peredam ombak akan ditahan dan ombak disamping alat peredam akan didifraksi di belakang alat peredam ombak. Hal ini menyebabkan pengendapan pasir atau Lumpur karena berkurangnya energi arus sepanjang pantai di belakang alat peredam ombak dan akan terbentu salient atau tombolo.

Konversi lahan yang tidak terkendali dan eksploitasi hutan yang berlebihan adalah dua tindakan manusia yang secara langsung merusak ekosistem sehingga membuka peluang terjadinya erosi. Terdapat dua kelompok masyarakat yang melakukan tindakan tersebut di atas, yaitu masyarakat yang sudah memahami resiko yang bakal timbul atas tindakannya tersebut, dan kelompok kedua adalah masyarakat yang sama sekali tidak mengetahui akan resiko tersebut. Oleh karena itu untuk mengatasinya perlu dilakukan sosialisasi yang terpogram, pelatihan, pemberdayaan, dan penyempurnaan peraturan-peraturan yang mendukung berjalannya pengendalian pasca tanam.

Rehabilitasi lingkungan pantai yang sedang memgalami kerusakan akibat tsunami atau erosi karena hilangnya mangrove sebagai pelindung alami, dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Informasi iklim dan karakteristik substrat dasar
b. Informasi topografi dan batimetri, gelombang/arus, kebutuhan serasah, Rencana Tata Ruang Daerah (RTRD)
c. Penetuan ketebalan dan kerapatan mangrove
d. Peletakan layout jalur hijau
e. Penyusunan rencana tahapan pelaksanaan
f. Pelaksanaan tahapan

Tahapan pelaksanaan mitigasi tsunami dan erosi yang berwawasan konservasi direncanakan secara tahunan, sehingga diharapkan ada beberapa tahapan, sampai kondisi dinyatakan sudah memenuhi syarat. Selanjutnya konsep mitigasi perlu diakomodasi di dalam peraturan baik pusat maupun daerah dan Rencana Tata Ruang Daerah (RTRD), agar ekosistem mangrove dapat terus dilestarikan.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat perlu dilakukan :
a. Penjelasan kepada masyarakat mengenai manfaat mangrove
b. Membuat aturan tentang pengelolaan mangrove
c. Pelatihan mangrove
Selain itu perlu dilakukan usaha-usaha peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan mengembangkan berbagai peluang usaha mandiri melalui berbagai kegiatan :
a. Mengembangkan kegiatan wisata alam
b. Mengembangkan usaha budidaya perikanan


SEDIA PAYUNG SEBELUM HUJAN
Bagaimanapun canggihnya sistem antisipasi bencana yang dikembangkan, tetap saja bencana tidak dapat diduga kapan akan datang. Belum ada satu alatpun yang dapat mendeteksi datangnya gempa dan tsunami secara akurat. Karena itu “sedia paying sebelum hujan” adalah langkah yang bijak. Selain pemahaman terhadap tanda-tanda bencana dan mekanisme evakuasi, perlengkapan keselamatan diri seperti life jacket (pelampung), dan perahu karet layak dipertimbangkan. Barangkali perlu juga asuransi jiwa, pendidikan, dan harta benda. ***

Daftar Pustaka :
Diposatono, Subandono. 2006. Mitigasi Bencana Wilayah Pesisir. Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil DKP. Jakarta
Diposatono, Subandono. 2006. Mitigasi Bencana Wilayah Pesisir Berbasis Ekosistem Mangrove. Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil DKP. Jakarta
Idris, Irwandi. 2006. Pengelolaan Pesissr dan Laut Terpadu dalam Pembangunan
Pesisir dan Lautan. Direktorat Bina Pesisir dan Lautan. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Nitiamidjaja, Hilman. 2006. Rencana Aksi Penanganan Bencana Gempa dan Tsunami di Provinsi Banten. Pemerintah Provinsi Banten. Serang

POKMASWAS BANTEN GARDA TERDEPAN PENGAWASAN SDKP

Oleh : Ir. Rachmat Soegiharto

Sejak dibentuk pertama kali pada tahun 2004, Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) di Banten kini telah berjumlah 37 kelompok. Organisasi ini berkembang cukup pesat di kecamatan-kecamatan pesisir di hampir seluruh wilayah kabupaten/kota se-Provinsi Banten. Dalam usianya yang relatif masih muda, beberapa POKMASWAS telah berhasil menunjukkan kinerja terbaiknya. Sebut saja POKMASWAS BINUANGEUN SEJAHTERA di Kecamatan Binuangeun, Kabupaten Lebak, dan POKMASWAS ANUGERAH MANDIRI di Kecamatan Kasemen , Kota Serang.

Kedua POKMASWAS ini pada tahun 2007 yang lalu telah berhasil meraih peringkat pertama dan kedua POKMASWAS terbaik se-Provinsi Banten. Pada tahun 2008, kedua kelompok ini terus melaju dan kerja keras yang dilakukannya akhirnya mampu mengantarkan keduanya menjadi nominator POKMASWAS terbaik Banten yang berhak mengikuti kompetisi POKMASWAS tingkat nasional.
Adalah M. Nawawi Al Kendo, seorang figur yang sangat erat dengan sepak terjang POKMASWAS ANUGERAH MANDIRI di Kasemen, Serang. Dalam penuturannya kepada Samudra Biru, Al Kendo mengatakan bahwa keberhasilan POKMASWAS yang dipimpinnya tidak terlepas dari dukungan aktif para anggotanya. Al Kendo bahkan mengatakan bahwa dirinya tidak berarti apa-apa tanpa semangat, antusiasme, dan support dari para koordinator dibawahnya yang mendukung penuh keberadaan POKMASWAS yang dipimpinnya.
Dahulu, beberapa tahun sebelum program POKMASWAS diluncurkan pemerintah, Al Kendo bersama beberapa temannya berinisiatif untuk mendirikan sebuah perkumpulan nelayan di Kasemen , Serang. Perkumpulan ini semula hanya bergerak sebatas wadah komunikasi bagi nelayan. Tetapi dengan berjalannya waktu, dan dengan semakin banyak persoalan-persoalan nelayan yang bisa mereka pecahkan bersama, maka organisasi kecil ini lambat laut tumbuh menjadi besar. Nelayan yang bergabungpun semakin banyak. Berbagai persoalan mulai dari penggunaan alat tangkap terlarang, perusakan lingkungan, penggunaan bom ikan, konflik wilayah penangkapan ikan, hingga masalah permodalan.sebagiannya berhasil mereka atasi dengan baik.
Karena manfaatnya yang dirasakan sangat menyentuh kebutuhan nelayan, dengan cepat organisasi bentukan Al Kendo ini mendapat dukungan yang besar dari masyarakat nelayan disekitarnya. Dengan semakin pesatnya perkembangan organisasi, dan terdorong untuk terus meningkatkan kinerjanya, Al Kendo pun mulai mencari induk semang. Pucuk dicinta ulam tiba, tidak lama setelah itu Departemen Kelautan dan Perikanan RI menggulirkan program yang bertajuk Pengembangan Sistem Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan berbasis Masyarakat (SISWASMAS). Agenda utama program ini adalah pembentukan kelompok-kelompok masyarakat pengawas SDKP (POKMASWAS) di seluruh wilayah kedaulatan RI. Berbekal program inilah, organisasi nelayan yang dipimpin oleh M. Nawawi Al Kendo kemudian berubah nama menjadi POKMASWAS ANUGERAH MANDIRI.
Berkaca dari sejarah berdirinya, boleh dibilang POKMASWAS ANUGERAH MANDIRI adalah salah satu contoh POKMASWAS terbaik yang pernah ada di Banten, bahkan di Indonesia. Pembentukannya yang benar-benar ber-urat-akar dari masyarakat, menjadikan organisasi ini mampu berdiri kokoh, dan berkiprah secara aktif membantu pemerintah mengawasi SDKP di Kasemen dan sekitarnya. Sementara disisi lain, banyak POKMASWAS yang hingga saat ini belum bisa berbuat banyak, bahkan diam seribu bahasa.
Menyadari bahwa POKMASWAS memegang peran yang sangat strategis sebagai garda terdepan pengawasan SDKP, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten terus berupaya untuk melakukan pembinaan terhadap POKMASWAS- POKMASWAS yang telah ada. Selain itu DKP juga tengah menggalakkan sosialisasi tentang POKMASWAS kepada para pemangku kepentingan, baik dari kalangan aparatur, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha, media masa, aparat penegak hukum, masyarakat nelayan, para tokoh agama, dan tokoh masyarakat lainnya, sehingga keberadaan POKMASWAS dapat dipahami dengan baik dan didukung secara layak.
1. POKMASWAS adalah Amanat Undang-undang

Pentingnya keberadaan POKMASWAS sebagai mitra pemerintah dalam mengawasi dan menjaga SDKP, adalah sebagaimana tertuang di dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 67 dimana pada pasal itu dinyatakan “Masyarakat dapat diikutsertakan dalam membantu Pengawasan Perikanan”.

POKMASWAS adalah implementasi dari SISWASMAS, yaitu sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan SDKP secara bertanggungjawab, agar diperoleh manfaat secara berkelanjutan.

Mekanisme kerja POKMASWAS lebih lanjut diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.58/MEN/2001 tentang Tata cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan SDKP. Dengan turut berperannya Pokmaswas dalam sistem pengawasan dan pengendalian SDKP, maka pelaku pengawasan SDKP di wilayah perairan Indonesia menjadi 7 komponen, yaitu :
1. Pengawas Perikanan (Pejabat Fungsional)
2. Pengawas Perikanan berstatus PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil)
Perikanan
3. Observer di atas Kapal
4. Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) dalam SISWASMAS
5. POLRI ( Polisi Perairan )
6. TNI AL (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut)
7. Dukungan Instansi Terkait : T N I A U , Ditjen Imigrasi, Ditjen Perhubungan Laut, Ditjen Bea dan Cukai, DEPNAKERTRANS.

2. Siapa saja anggota POKMASWAS
Berdasarkan panduan yang diterbitkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan RI, idealnya anggota POKMASWAS adalah : tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha, serta masyarakat pesisir lainnya. Tetapi berdasarkan pengalaman Al Kendo, anggota POKMASWAS sebaiknya adalah orang-orang yang tidak lepas dari kehidupan di laut, dan sangat menaruh harapan dengan kesejahteraan nelayan. Anggota yang demikian ini menurut Al Kendo akan memperlihatkan kepedulian yang tinggi terhadap kemajuan POKMASWAS.

3. Kelengkapan POKMASWAS
Lazimnya sebuah organisasi, maka POKMASWAS juga dilengkapi dengan administrasi pendukung, diantaranya adalah :
o Struktur organisasi dan personil (terdiri dari ketua, sekretaris, seksi-seksi, dan anggota)
o Tempat dan alamat sekretariat POKMASWAS
o Ditetapkan dan dikukuhkan oleh instansi pembina
o Atribut dan identitas kelompok
o Buku untuk pengadministrasian
o Rencana kegiatan rutin, jangka pendek, menengah dan jangka panjang

4. Tugas POKMASWAS
Berbeda dengan aparat pengawas perikanan yang sarat dengan aspek hukum, tugas POKMASWAS hanya sebatas :
 Mengamati atau memantau (melihat, mendengar) kegiatan perikanan dan pemanfaatan lingkungan yang ada di daerahnya .
 Melaporkan adanya dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perikanan atau dugaan tindak pidana dibidang perikanan kepada Pengawas Perikanan atau aparat penegak hukum (Penjelasan Pasal 67 UU no 31 th 2004).
 Mengajak anggotanya untuk menjalankan usaha perikanannya dengan tertib dan sesuai aturan hukum yang berlaku.
 Memberikan penyuluhan hukum pada anggota dan masyarakat sekitarnya
 Membuat laporan kejadian pelanggaran yang disaksikan
 Bersedia menjadi saksi jika diperlukan oleh aparat penegak hukum

5. Ruang Lingkup Pekerjaan POKMASWAS
Secara umum ruang lingkup pekerjaan POKMASWAS terdiri dari empat bidang utama, yaitu :
• Penangkapan ikan
• Pembudidayaan ikan
• Pengolahan ikan
• Pelestarian sumberdaya perairan
Dari keempat bidang utama tersebut, para anggota POKMASWAS dapat mengembangkannya menjadi item-item yang lebih rinci, misalnya pengawasan atas :
o Penggunaan bahan dan/atau alat dan/atau cara dan/atau bangunan yang merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya;
o Pengrusakan ekosistem perairan (Mangrove, Terumbu karang, Lamun)
o Aktivitas di daerah suaka perikanan, atau daerah wisata laut
o Eksploitasi terhadap sumberdaya non hayati (pasir laut ), BMKT (Benda Muatan Kapal Tenggelam), penambangan liar tanpa izin (PETI)
o Pencemaran, pembuangan limbah

6. Jenis Pelanggaran Yg Diawasi Dan Dilaporkan
Bergantung kepada kondisi masing-masing, namun secara umum jenis pelanggaran undang-undang perikanan di daerah kurang lebih sama, yaitu :
 Penggunaan bahan terlarang (bom, racun, listrik)
 Penggunaan alat penangkap ikan terlarang ( trawl =arad/gardan)
 Pelanggaran jalur dan daerah penangkapan ikan
 Beroperasinya kapal ikan asing di laut teritorial dan/atau mengganggu nelayan lokal
 Pelanggaran perizinan usaha
 penangkapan/pengolahan/distribusi/pengumpulan
 Beroperasinya kapal ikan asing tanpa izin
 Transhipment di tengah laut
 Pencemaran perairan
 Pencurian benda berharga dari kapal tenggelam
 Pengerukan pasir laut tanpa/tidak sesuai izin
 Pencurian terumbu karang

7. Kegiatan Pembinaan yang dilakukan DKP
Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan pengendalian terhadap SDKP di Provinsi Banten, maka sesuai arahan Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Ditjen P2SDKP) Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten secara bertahap mengembangkan tujuh kegiatan utama, yaitu :
 Perencanaan Teknis, Pengembangan SDM dan Kelembagaan Pengawasan.
 Peningkatan Sarana dan Prasarana Pengawasan.
 Peningkatan Operasional & Pemeliharaan Kapal Pengawas.
 Peningkatan Pengawasan & Pengendalian Sumberdaya Perikanan
 Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan.
 Pengembangan SISWASMAS.
 Peningkatan Penaatan dan Penegakan Hukum dalam Pemanfaatan SDKP
Khusus untuk pengembangan SISWASMAS, maka upaya yang telah, sedang, dan akan dilakukan adalah :
a. Pembentukan jaringan SISWASMAS, dengan membentuk jejaring kerja antar pokmaswas dan aparat pengawas terkait, seperti :
o PPNS
o Ka Pelabuhan
o Ka DKP
o SATPOLAIR
o TNI-AL
o Karantina

b. Peningkatan kemampuan POKMASWAS melalui pembinaan, bimbingan dan pelatihan
c. Pemberikan sarana dan prasarana pendukung kegiatan secara selektif dan sesuai kondisi daerah
d. Sosialisasi peraturan perundangan dan apresiasi pelaksanaan pengawasan
e. Pembentukan POKMASWAS baru
f. Pemilihan POKMASWAS andalan/teladan tingkat daerah/nasional

8. Menghindari Peran POKMASWAS yang Kurang Tepat
POKMASWAS di Banten perlu mewaspadai sikap atau tindakan yang berpotensi merusak nama baik POKMASWAS. Di beberapa daerah telah terjadi situasi dimana anggota POKMASWAS dalam melaksanakan fungsinya bertindak secara berlebihan, sehingga menimbulkan protes dari anggota masyarakat lainnya yang dirugikan. Tindakan tersebut antara lain :
• Menghakimi sendiri pelaku tindak pelanggaran/pidana
• Bertindak layaknya aparat penegak hukum
• Berperan seperti LSM yg hanya mengkritik dan tidak pernah bertindak
• Menerapkan aturan yang tidak standar & bertentangan dengan aturan yg ada
• Memanfaatkan perannya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya saja yg tidak berkaitan dengan perannya
• Tidak memperbolehkan masuknya nelayan dari daerah lain ke wilayahnya (penguasaan wilayah)
• Membiarkan terjadinya tindak pidana terjadi di sekitarnya

9. Sumberdana POKMASWAS
Karena Pokmaswas bukan agen yang dibayar pemerintah secara rutin, dan bukan sebagai organisasi yg mendapat pekerjaan dan dana dari pemerintah, maka keberlangsungan fungsi dan operasional POKMASWAS sangat bergantung dari kreativitas ketua dan anggota kelompoknya.

M. Nawawi Al Kendo, Ketua POKMASWAS ANUGERAH BAHARI, Kasemen, Serang, mengatakan bahwa selama ini kegiatan POKMASWAS yang dipimpinnya lebih banyak dibiayai secara swadaya ketimbang mengandalkan bantuan pemerintah. Figur kepemimpinan Al Kendo yang diterima masyarakat dan kerja nyata yang selama ini dihasilkan, sangat membantu POKMASWAS ANUGERAH BAHARI untuk mendapatkan dana dari berbagai sumber. Misalnya bantuan dari perusahaan tertentu untuk mensponsori acara pelatihan anggota POKMASWAS. Pada kesempatan lainnya Al Kendo bermusyawarah dengan masyarakat untuk menyisihkan sebagian dana dari event-event tertentu di Kecamatan yang melibatkan Pokmaswas sebagai panitianya untuk dimasukkan ke kas POKMASWAS. Al Kendo mengatakan bahwa masih banyak cara lainnya yang bisa dilakukan untuk membiayai kegiatan POKMASWAS, asalkan ada kemauan dan dimusyawarahkan secara terbuka.
Diakui bahwa ketiadaan dana operasional dan tidak adanya insentif adalah keluhan umum sebagian besar anggota POKMASWAS. Pemerintah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, juga para anggota POKMASWAS, perlu duduk bersama untuk mencari solusi terbaik. Jangan sampai konsep SISWASMAS yang demikian hebat harus kandas ditengah jalan karena tidak ada dukungan dana yang memadai. Singkatnya harus ada alasan yang kuat bagi anggota POKMASWAS untuk menjawab pertanyaan ”mengapa saya mau menjadi anggota POKMASWAS”, dan mengapa saya mau melaksanakan tugas-tugas POKMASWAS? Semoga kedepan POKMASWAS Banten semakin membaik. ***

REVITALISASI POKMASWAS MELALUI PENDEKATAN EKONOMI

Oleh : Ir. Rachmat Soegiharto

Dalam kesempatan bertemu dengan beberapa Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) di Karangantu, Wadas, Terate, Pasauran, Citeureup, dan daerah-daerah lainnya disepanjang pesisir Banten, terungkap bahwa sebagian besar kelompok tersebut ternyata belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Pada umumnya kinerja POKMASWAS tersebut masih terkendala oleh minimnya sarana, belum dimilikinya legalitas formal, dan kurangnya biaya operasi.

Bila situasinya kondusif, sebenarnya peran kelompok masyarakat bentukan Dinas Kelautan dan Perikanan ini, sangat bisa diandalkan. Mereka bisa menjadi mata dan telinga yang efektif dalam memantau kegiatan-kegiatan illegal fishing dan perusakan lingkungan, seperti : Penggunaan bahan terlarang (bom, racun, listrik), Penggunaan alat penangkap ikan terlarang ( trawl =arad/gardan), Pelanggaran jalur dan daerah penangkapan ikan, Beroperasinya kapal-kapal lain yang mengganggu nelayan lokal, Pelanggaran perizinan usaha penangkapan/pengolahan/distribusi/pengumpulan, Beroperasinya kapal ikan asing tanpa izin, Penjualan ikan/Transhipment di tengah laut, Pencemaran perairan, Pencurian benda berharga dari kapal tenggelam, Pengerukan pasir laut tanpa/tidak sesuai izin, Pencurian terumbu karang, Pembabatan mangrove tanpa kendali.

POKMASWAS Banten yang pendiriannya telah dimulai sejak tahun 2004 yang lalu, selama ini telah mendapatkan cukup banyak perhatian dari pemerintah, tetapi dengan melihat fakta di lapangan bahwa kiprahnya dalam mengawasi pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (SDKP) belum terlihat efektif, maka pola pengembangan POKMASWAS tampaknya perlu ditinjau kembali.
Penelaahan yang dilakukan Samudera Biru menunjukkan bahwa masalah mendasar yang menyebabkan kurang berjalannya sebagian POKMASWAS di Banten, adalah tidak/kurang adanya manfaat ekonomi bagi para anggotanya. Tapi jangan salah paham dulu, manfaat ekonomi yang disebutkan diatas bukan berarti harus membagi-bagi honor setiap bulan kepada anggota POKMASWAS, tetapi lebih pada menciptakan kegiatan ekonomi untuk menunjang pelaksanaan tugas POKMASWAS.

Kita tentunya memahami bahwa sebagian besar anggota POKMASWAS adalah nelayan, yang hampir seluruh waktunya tersita untuk mencari ikan, tentu tidak akan cukup termotivasi untuk bergabung dan bekerja melaksanakan tupoksi POKMASWAS, bila ia tidak melihat adanya manfaat ekonomi bagi dirinya. Manfaat ekonomi ini memang bukan sesuatu yang mutlak, karena di lapangan ada juga anggota POKMASWAS yang membaktikan dirinya dengan rela dan senang, walaupun ia tidak menerima manfaat ekonomi apapun.
Kelahiran POKMASWAS yang dibidani oleh Departemen Kelautan dan Perikanan RI dalam rangka implementasi Sistem Pengawasan Masyarakat (SISWASMAS), sejatinya adalah bukan agen yang dibayar pemerintah secara rutin, dan bukan sebagai organisasi yg mendapat pekerjaan dan dana dari pemerintah (lihat artikel POKMASWAS BANTEN, Garda Terdepan Pengawasan SDKP, di buletin yang sama, edisi yang lalu). Karena itu anggota POKMASWAS harus berlapang dada bila hingga hari ini pemerintah tidak pernah memberi bantuan insentif bulanan sebagaimana dimaksud di atas.

Namun sekedar berlapang dada pastilah tidak cukup. Masalah mendasar yaitu tidak adanya manfaat ekonomi bagi para anggotanya, ditambah dengan minimnya sarana, belum dimilikinya legalitas formal, dan kurangnya biaya operasi, merupakan persoalan yang perlu segera diatasi kalau tidak ingin melihat POKMASWAS tertidur. Merevitalisasi atau membangkitkan kembali keberadaan dan fungsi lembaga ini dengan pendekatan ekonomi, menjadi sebuah alternatif yang layak untuk dipertimbangkan. Inti dari pendekatan ekonomi dalam revitalisasi POKMASWAS adalah dengan menciptakan kegiatan-kegiatan pendukung bagi kelompok ini sedemikian rupa sehingga dengan adanya kegiatan pendukung ini, POKMASWAS memiliki alasan yang kuat untuk terjun ke lapangan, dengan senang hati, tanpa terpaksa, dan tanpa sia-sia.

Sebagai sebuah pendekatan ekonomi, penciptaan kegiatan-kegiatan pendukung tersebut tentu tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga harus didukung oleh faktor-faktor lain yang saling kait mengkait, yang sekurangnya meliputi empat hal, yaitu : (1) Peningkatan Promosi, (2) Peningkatan Legalitas, (3) Peningkatan Sarana Kerja, dan (4) Penciptaan Kegiatan Pendukung itu sendiri.
Bagaimana keempat faktor diatas bekerja, berikut adalah penjabarannya :

1. PENINGKATAN PROMOSI
Kurang dikenalnya sebagian POKMASWAS Banten oleh lingkungannya merupakan bukti nyata bahwa kehadirannya di tengah masyarakat pesisir kurang dipromosikan secara layak. Karena kurang dikenal, maka tidak heran bila anggota POKMASWAS menjadi agak canggung dalam bertindak. Apalagi bila mereka belum memiliki surat pengukuhan sebagai POKMASWAS di desanya. Para anggota POKMASWAS sesungguhnya sangat mengharapkan adanya fasilitasi dari pemerintah, dimana mereka dapat dikenalkan secara resmi dihadapan masyarakat. Mereka menginginkan adanya kegiatan pertemuan dengan warga di Balai Desa, yang dihadiri oleh aparat desa, BPD, Ketua RW, RT, tokoh masyarakat, dan warga pesisir lainnya, yang dengan pertemuan tersebut keberadaan mereka dapat diketahui dan diakui. Berbaris rapih di hadapan masyarakat dengan mengenakan stelan kaus, rompi dan topi biru khas POKMASWAS, adalah moment yang sangat mereka nantikan. Edifikasi dari pemerintah pada kesempatan seperti ini diyakini dapat mendongkrak status sosial mereka, menumbuhkan kebanggaan, motivasi, dan juga tumbuhnya rasa tanggungjawab para anggota POKMASWAS tersebut dalam melaksanakan tugas.

2. PENINGKATAN LEGALITAS
Secara berseloroh seorang anggota POKMASWAS di Desa Citeureup, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, mengatakan bahwa dirinya sangat ingin bisa beraksi seperti di film-film detektif, menunjukkan kartu tanda pengenal kepada seseorang yang kedapatan menambang terumbu karang secara tidak sah, seraya mengatakan ”Saya anggota POKMASWAS !!, silahkan hentikan kegiatan saudara !! atau saudara saya laporkan kepada pihak yang berwajib !!.
He..he..he.. kata-kata aksi tadi tentu bukan representasi sebenarnya dari fungsi POKMASWAS. Mereka bukanlah aparat penegak hukum yang memiliki kekuatan memaksa. Tugas POKMASWAS hanyalah mengamati atau memantau (melihat, mendengar) kegiatan perikanan dan pemanfaatan lingkungan yang ada di daerahnya, kemudian melaporkan adanya dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perikanan atau dugaan tindak pidana dibidang perikanan kepada Pengawas Perikanan atau aparat penegak hukum.
Namun demikian selorohan ala detektif tadi dapat merupakan cerminan, bahwa legalitas formal tentang keberadaan POKMASWAS sangat mereka butuhkan. Bukan saja agar bisa bekerja dengan percaya diri, tetapi lebih dari itu, dukungan legalitas merupakan pelindung hukum yang memberikan rasa aman dan nyaman dalam bertugas.
Berkaitan dengan masalah legalitas ini, maka DKP selaku instansi pembina perlu memastikan bahwa setiap POKMASWAS yang ada di Banten telah dilengkapi dengan surat pengukuhan, atribut, dan kartu anggota/kartu tanda pengenal yang sah. Selain itu perlu juga disosialisasikan secara luas kepada komunitas masyarakat pesisir tentang keabsahan status dan kewenangan POKMASWAS yang ada di desa mereka. Medianya bisa dalam bentuk poster, billboard, Baligo, atau sejenisnya. Bisa juga dengan membuat papan nama Pokmaswas yang penempatannya disandingkan dengan papan-papan nama lain di balai desa, di Pos POLAIR, atau ditempat lain yang dianggap strategis.

3. PENINGKATAN SARANA KERJA
Umumnya setiap POKMASWAS di Banten hanya difasilitasi satu unit pesawat Rig saja oleh pemerintah. Pemantauan kondisi terakhir di lapangan pada November 2008, menunjukkan bahwa alat komunikasi yang dipasang di TPI atau di rumah Ketua POKMASWAS ini, tidak seluruhnya berada dalam kondisi baik. Dengan situasi geografis Banten yang berbukit dan bergunung, dan dengan belum tersedianya pesawat Repeater (Pemancar ulang signal radio), maka tingkat ”keterpakaian” alat komunikasi yang ada saat ini terbilang sangat rendah. POKMASWAS hanya bisa menggunakan pesawat Rig secara sangat terbatas, dan belum dapat dimaksimalkan untuk membantu tugas pengawasan SDKP.
a. Untuk menggenjot kinerja POKMASWAS berkenaan dengan penggunaan alat komunikasi (alkom), maka berdasarkan hasil Pelatihan Operator AlKom bagi para anggota Pokmaswas bulan November 2008 yang baru lalu, dirumuskan bahwa :
Pemerintah perlu segera memasang pesawat Repeater agar komunikasi se-Banten bisa dilakukan.

b. Bila Repeater sudah terpasang, maka masing-masing anggota POKMASWAS secara bertahap perlu dilengkapi dengan pesawat Handie Talkie (HT), agar mudah dibawa kemanapun berpatroli, dan untuk meningkatkan kecepatan penyampaian informasi.

c. Pemerintah perlu segera menyusun kebijakan teknis tentang penggunaaan alat komunikasi untuk pengawasan SDKP, mulai dari penetapan frekuensi hingga prosedur pelaksanaan operasionalnya, dengan maksud agar penggunaan alat-alat komunikasi tersebut dapat dimaksimalkan, dan terhindar dari malfungsi yang tidak perlu.

d. Inventarisasi ulang atas keberadaan peralatan komunikasi, pengecekan kondisi, tindakan perbaikan, dan standarisasi ulang atas kemampuan alat komunikasi perlu segera dilakukan. Pemerintah juga perlu memiliki program perawatan rutin untuk memastikan alat komunikasi yang digunakan bebas masalah.

e. Untuk menghindari kekacauan komunikasi radio, maka penetapan frekuensi tertentu antara Pokmaswas dan DKP perlu ditegaskan kembali. Pemerintah juga perlu merancang jalur komunikasi antara Pokmaswas dan instansi/aparat penegak hukum terkait, seperti POLAIR, TNI-AL, Administratur Pelabuhan, dan instansi lainnya, untuk kemudahan pelaporan dan tindak lanjut atas kejadian yang ditemukan di lapangan.

f. Perizinan radio para anggota Pokmaswas perlu segera dilengkapi untuk ketenangan dan kenyamanan berkomunikasi, dan untuk menghindarkan diri dari sweeping aparat.
g. Semua peralatan dan petugas operator radio komunikasi yang telah dimiliki, terpasang, dan bekerja di Ruang Wasdal DKP, harus dipastikan berfungsi 24 jam. DKP sebagai sentral komunikasi (senkom), perlu melakukan fungsi-fungsi rutin tertentu, misalnya apel udara, untuk memastikan seluruh peralatan dan operator radio komunikasi dari POKMASWAS dalam keadaan siap.
Untuk mendukung kinerja POKMASWAS, sarana kerja yang dibutuhkan memang bukan cuma alat komunikasi saja. Hasil diskusi antara Tim Wasdal DKP dan para anggota POKMASWAS di berbagai daerah menunjukkan bahwa sarana kerja lain yang cukup penting adalah tersedianya mini speed boat. Perahu cepat ini berguna untuk mendatangi tempat-tempat kejadian di tengah laut yang berada dalam jangkauan, yang memerlukan tindakan penanganan dengan segera.

4. PENCIPTAAN KEGIATAN PENDUKUNG
Penciptaan kegiatan pendukung bagi POKMASWAS merupakan inti dari revitalisasi dengan pendekatan ekonomi ini. Kegiatan pendukung adalah sesuatu yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan POKMASWAS, tetapi ia bisa menjadi penyebab berjalan aktifnya kegiatan pengawasan SDKP oleh POKMASWAS.
Bergantung kepada situasi lingkungan perairan masing-masing POKMASWAS, kegiatan pendukung dimaksud dapat berupa :
 Pemasangan rumpon siaga
 Pemasangan SetNet
 Budidaya Kerapu
 Budidaya Kerang hijau
 Budidaya Rumput Laut
Rumpon siaga (maaf, istilah ”siaga” cuma sekedar imbuhan saja) adalah alat bantu pengumpul ikan yang berupa benda atau struktur yang dirancang atau yang dibuat dari bahan alami atau buatan yang ditempatkan secara tetap atau sementara pada perairan laut.
Di banyak tempat, rumpon terbukti sangat efektif mendatangkan ikan. Para ahli sudah membuktikan bahwa banyaknya ikan-ikan yang datang kesitu, selain karena menjadikan rumpon sebagai tempat berlindung, juga karena disana tersedia banyak makanan ekstra. Hal ini dimungkinkan karena rumpon juga menjadi substrat tempat menempelnya beberapa organisme yang terkait dengan siklus/rantai makanan ikan.
Kemampuannya yang tinggi dalam mengumpulkan ikan, membuat negara maju seperti Jepang menjadikan rumpon sebagai salah satu program utama perikanan mereka. Contohnya, sebagaimana dilaporkan oleh Isao Koya, expert JICA dari Jepang, yang mengatakan bahwa nelayan di perairan Okinawa, yang ukuran kapalnya rata-rata dibawah 3 GT, jumlah awak kapal 1 sampai 2 orang, mampu membahwa hasil tangkapan 70 kg per hari (Koya, 2006).
Karena biaya pembuatan rumpon cukup mahal, serta perannya yang sangat besar bagi nelayan dalam menciptakan area tangkap yang potensial (heavenly fishing ground), maka kelompok nelayan yang memiliki rumpon tersebut mau tidak mau harus menjaga, memelihara, dan mengelolanya dengan sungguh-sungguh. Bila tidak, maka ikan-ikan yang melimpah disekitar rumpon tersebut hampir bisa dipastikan akan dimanfaatkan nelayan lain. Atau lebih buruk lagi, rumpon bisa dicuri atau dirusak.
Karakteristik rumpon yang mahal, ditambah kemampuannya yang efektif dalam meningkatkan hasil tangkapan nelayan, serta perannya yang signifikan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar (karena nelayan tidak perlu lagi pergi jauh-jauh membuang-buang bahan bakar untuk mencari fishing ground), membuat rumpon ini, menurut pandangan Samudra Biru, sangat cocok untuk dikembangkan menjadi kegiatan pendukung bagi POKMASWAS. Para anggota POKMASWAS dapat pergi ke tengah laut melaksanakan fungsi pengawasan SDKP, memantau illegal fishing, mengintai pencurian terumbu karang, atau mengawasi penambangan pasir laut illegal, sambil sekaligus menjaga rumpon-rumpon yang mereka kelola. Cukup menarik!, seperti kata pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali berangkat bertugas, puluhan manfaat dapat diraih !
Dengan argumentasi ilmiah sebagaimana disebutkan diatas, dan didukung oleh pengalaman empirik di berbagai tempat, maka tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk mulai mengambil ancang-ancang mengembangkan rumpon ini menjadi salah satu alternatif kegiatan pendukung bagi POKMASWAS.
Secara teknis, langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi titik-titik rawan tempat dimana sering terjadi pelanggaran di laut, kemudian menilai cocok tidaknya titik-titik rawan tersebut untuk dijadikan tempat pemasangan rumpon. Bila cocok, maka langkah berikutnya adalah menyiapkan rumponnya, dan menyiapkan sistem pengelolaannya.
Sistem pengelolaan merupakan bagian yang paling krusial dari program ini. Siapa yang bertanggungjawab, siapa yang menjaga, bagaimana cara menjaganya, bagaimana cara memanfaatkannya, bagaimana mengatur pembiayaannya, bagaimana mengatur hasilnya, dan seterusnya, harus benar-benar dipikirkan secara masak. Jangan sampai program rumpon ini malah bisa menimbulkan masalah baru, baik bagi internal POKMASWAS, maupun bagi nelayan-nelayan lainnya.
Senada dengan rumpon, kegiatan pendukung lain yang juga layak dijadikan alternatif bagi POKMASWAS adalah SetNet, dan berbagai budidaya laut seperti kerapu, kerang, dan rumput laut. Konsep pengembangannya sama, yaitu manfaat ekonomi dari berbagai alternatif kegiatan pendukung tadi, diarahkan untuk melancarkan dan mendinamiskan fungsi pengawasan SDKP yang ada di pundak mereka. Prinsip sederhananya adalah, sambil ngawasin cari profit, atau sambil cari profit sekalian ngawasin. Bravo POKMASWAS !! ***