Senin, 20 April 2009

MITIGASI BENCANA DI KAMPUNG NELAYAN Upaya Sistematis Mengurangi Kerugian Jiwa, Harta Benda, dan Kerusakan Lingkungan

Oleh : Ir. RACHMAT SOEGIHARTO

Hampir semua kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir. Berbagai kegiatan mulai dari permukiman, perdagangan, perhubungan, pengembangan industri, dan berbagai sektor lainnya berdesakan di wilayah ini. Diperkirakan 60% populasi penduduk Indonesia, dan 80% lokasi industri berada di wilayah pesisir.
Berkembangnya berbagai kepentingan di wilayah pesisir membuat wilayah tersebut menyangga beban lingkungan yang sangat berat akibat pemanfaatan yang tidak terkendali, tidak teratur serta tidak mempertimbangkan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan.
Selain beban karena aktivitas manusia, wilayah pesisir juga terbebani dengan potensi bencana alam seperti gempa, tsunami, banjir, badai, erosi pantai, dan kenaikan paras muka air laut (Sea Level Rise/SLR). Perkampungan nelayan sebagai bagian dari ekosistem wilayah pesisir juga tidak luput dari potensi bencana tadi.
Sejak tahun 1960 s.d. 2004 di wilayah pesisir Indonesia telah terjadi 19 kali tsunami, yang berarti setiap 2,5 tahun sekali terjadi tsunami. Di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) tinggi gelombang tsunami mencapai 30 meter, dengan korban yang meninggal dan hilang mencapai lebih dari 300 ribu orang. Di Provinsi Banten sendiri selama semester I tahun 2006 telah terjadi lima kali gempa dengan kekuatan 4,1 s.d 5,6 skala Richter dengan pusat gempa terdekat terjadi di Selat Sunda dengan kedalaman 14 km.

Jenis bencana lain yang sudah menjadi langganan Indonesia setiap tahun adalah banjir. Jakarta pernah dilanda banjir dahsyat pada tahun 2002. Banjir tersebut ditengarai terjadi karena curah hujan tinggi, perubahan tata guna lahan, bangunan-bangunan liar disepanjang bantara sungai, pembuangan sampah ke sungai, penurunan tanah akibat pengambilan air tanah, reklamasi, dan drainase yang tidak memadai.
Selain hilangnya rumah dan berbagai infrastruktur, banjir juga menyebabkan hilangnya produksi pertanian, hilangnya produksi tambak, terjadinya perubahan habitat pesisir, peningkatan erosi, dan peningkatan sedimentasi.
Bencana lain yang juga telah berlangsung sepanjang tahun adalah erosi pantai yang terjadi di banyak wilayah pesisir di Indonesia. Erosi menyebabkan banyak hilangnya lahan bernilai ekonomis, merusak permukiman, pertambakan, dan sarana perhubungan.


KONDISI DAN POTENSI GEMPA & TSUNAMI DI BANTEN
Kelompok pantai yang rawan bencana tsunami di Indonesia terutama adalah kelompok pantai yang menghadap ke Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, serta kelompok pantai yang menghadap ke laut dimana terdapat pertemuan dua lempeng. Kelompok pantai tersebut adalah pantai barat Sumatra, pantai selatan Pulau Jawa, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya, dan hampir seluruh pantai di Sulawesi.
Khusus untuk Provinsi Banten, potensi gempa dan tsunami meliputi Selat Sunda wilayah Provinsi Banten, Selat Sunda wilayah Provinsi Lampung bagian selatan, Samudra Hindia sebelah barat Provinsi Lampung, Samudra Hindia sebelah selatan Kabupaten Sukabumi, dan daratan Provinsi Banten sendiri.
Potensi gempa di Selat Sunda wilayah Provinsi Banten magnitude nya tercatat kurang dari 6.0 skala Richter, kecuali wilayah Ujungkulon berkisar 6.0 – 7.0 Skala Richter. Peluang terjadinya tsunami dikedua wilayah ini cukup kecil.

Di Selat Sunda wilayah Provinsi Lampung bagian selatan potensi terjadinya gempa dan tsunami yang mengancam pantai barat Provinsi Banten cukup besar, dengan waktu tempuh gelombang tsunami 30 – 45 menit.
Di Samudra Hindia sebelah barat Provinsi Lampung, potensi gempa dan tsunami yang mengancam pesisir barat dan pesisir selatan Provinsi Banten juga cukup besar, dengan waktu tempuh rata-rata gelombang tsunami 90 – 135 menit
Gempa bumi dan tsunami di Samudra Hindia sebelah selatan Kabupaten Sukabumi juga merupakan potensi ancaman bagi pesisir selatan Provinsi Banten. Di wilayah ini waktu tempuh rata-rata gelombang tsunaminya adalah 90 – 120 menit
Di daratan Provinsi Banten sendiri, potensi gempa dengan magnitude 4.0 – 7.0 Skala Richter berpeluang terjadi di Kabupaten Pandeglang sebelah selatan, yang mencakup Kecamatan Sumur, Cimanggu, Cibaliung, Cikeusik, Cigeulis, Munjul, Angsana, Panimbang, Pagelaran, Picung, dan Kecamatan Bojong.


TELUK SEBAGAI KAWASAN YANG RENTAN TSUNAMI
Kawasan teluk dan bagian yang melekuk dari pantai memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan kawasan lainnya. Sebab dengan topografi seperti itu energi yang dihempaskan semakin tinggi ketika mencapai teluk dan lekukan pantai. Hal ini akibat dari berkumpulnya energi dari laut lepas ketika gelombang berada di celah yang lebih sempit. Kondisi ini akan sangat tidak menguntungkan jika topografi pantainya landai dan tanpa tanaman pelindung seperti hutan mangrove, kelapa, waru, atau hutan pantai lainnya.
Pada kondisi tanpa tanaman pelindung ini gelombang tsunami yang besar baik ketinggian maupun kecepatannya, akan dengan leluasa menyusup ke daratan dan menghancurkan apa saja yang ada disitu. Bisa dibayangkan bila tempat yang landai itu dipakai untuk perkampungan nelayan atau kawasan industri.


PERINGATAN DINI ADANYA TSUNAMI
Untuk bencana tsunami maka sistem peringatan dini yang perlu diketahui masyarakat nelayan antara lain adalah :
a. Tsunami akan berpotensi terjadi bila kekuatan gempa lebih dari 6,5 skala richter
b. Bila pusat gempa di dasar laut kedalamannya kurang dari 60 km
c. Terjadi surut muka laut secara tiba-tiba
d. Tercium bau garam yang sangat menyengat
e. Terlihat garis hitam di ujung cakrawala
f. Terdengar bunyi ledakan dikejauhan

NAIKNYA PARAS MUKA LAUT (SEA LEVEL RISE)
Salah satu dampak dari peningkatan efek rumah kaca akibat peningkatan kegiatan manusia adalah terjadinya pemanasan global (global warming) yang pada akhirnya akan mengakibatkan pemuaian air laut yang berakibat pada Sea Level Rise (SLR). Diperkirakan akan terjadi SLR sebesar kurang lebih satu meter pada tahun 2100 dihitung mulai tahun 1990 (IPPC, 1990 dalam Diposaptono, 2006). Bila garis pantai yang dimiliki Indonesia adalah 81.000 km dan asumsi bahwa mundurnya garis pantai akibat SLR sekitar 50 meter, maka lahan pantai yang hilang dalam seratus tahun mencapai 405.000 ha atau per tahunnya 4.050 ha.
Selain hilangnya lahan, dampak lain SLR adalah terjadinya peningkatan frekuensi dan intensitas banjir karena efek pembendungan, dan semakin besarnya intrusi air laut semakin besar. Penyusupan air laut ke wilayah daratan ini berdampak pada keamanan bangunan pantai dan lingkungan biotik.


EROSI DAN SEDIMENTASI
Erosi pantai dipengaruhi oleh angin, gelombang, arus, pasang surut, dan adanya gangguan yang diakibatkan oleh ulah manusia seperti konstruksi bangunan pada pantai, penambangan karang dan pasir, dan penebangan mangrove.


KERUSAKAN MANGROVE DAN TERUMBU KARANG
Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, seperti penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun sianida, dan aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, penambatan jangkar perahu, serta akibat dari sedimentasi (meningkatnya erosi dari lahan daratan).
Berdasarkan survey line transect yang dilakukan oleh P3O LIPI, penutupan karang hidup dengan kondisi sangat baik di Indonesia hanya tinggal 6,2%, dalam kondisi baik 23,72%, kondisi rusak 28,3%, dan 41,78% dalam kondisi rusak berat (Suharsono 1998 dalam Diposaptono, 2006).

Ekosistem hutan mangrove yang merupakan struktur perlindungan alami pantai, juga mengalami degradasi yang cukup mengkhawatirkan. Selama periode 1982 – 1993 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove dari sekitar empat juta hektar menjadi sekitar 2,5 juta ha (Dahuri et al, 1996 dalam Diposaptono, 2006). Penyebab penurunan luasan hutan mangrove tersebut adalah karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain, seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri, dan permukiman di kawasan pesisir, serta penebangan hutan mangrove untuk kebutuhan kayu bakar, arang, dan bahan bangunan


MEKANISME PENANGANAN BENCANA
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan/atau keduanya yang mengakibatkan korban manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat (Sekretariat Bakornas, 2001 dalam Diposaptono, 2006).
Penanganan bencana di pesisir, di kampung nelayan, dan juga di lokasi-lokasi lain, secara umum dibagi dalam tiga tahap, yaitu sebelum terjadi bencana, pada saat terjadi bencana, dan pasca bencana.
Kegiatan penanganan sebelum terjadi bencana dikenal dengan nama mitigasi, yaitu proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan dampak negatif bencana. Upaya yang dapat dilakukan pada tahap ini antara lain adalah :
a. Mempersiapkan sumberdaya penanganan bencana (dana, manusia, dan material)
b. Penguatan sistem jaringan komunikasi dan informasi
c. Penyusunan peraturan perundangan
d. Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah, Tata Guna Lahan, Zonasi
e. Pelaksanaan sosialisasi, penyuluhan, latihan, dan simulasi
f. Penyiapan lahan dan jalur-jalur evakuasi

Kegiatan penanganan pada saat terjadinya bencana dikenal dengan nama “Tanggap Darurat”. Pada tahap ini kegiatan penanganan bencana yang dilakukan adalah :
a. Mobilisasi tenaga personil
b. Pembuatan posko dan distribusi bantuan
c. Investigasi dan penyiapan data korban
d. Tindakan medik darurat dan rujukan
e. Evakuasi korban
f. Pengamanan

Pada tahapan pasca bencana tindakan yang dilakukan adalah rehabilitasi dan rekonstruksi, dimana kegiatannya dapat berupa :
a. Penampungan sementara korban bencana
b. Rehabilitasi mental, kesehatan, sosial, dan ekonomi,
c. Rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana
d. Pengamanan

Pelaksanaan operasional penanganan bencana di perkampungan nelayan dan wilayah pesisir lain lakukan secara fungsional oleh Dinas/Badan/Biro/Kantor/Instansi terkait lain di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi, dengan mengerahkan kemampuan pemerintah, swasta, dan masyarakat secara terpadu.
Keterpaduan pelaksanaan penanganan bencana dilaksanakan dalam wadah Satkorlak-PB (Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanganan Bencana), mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi.
Pada tahap sebelum bencana terjadi maka kegiatan pencegahan dan mitigasi dilaksanakan secara fungsional oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten dan kabupaten/kota, serta dinas-dinas lain yang terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Koordinasi keterpaduan program dan operasional dlaksanakan dalam wadah Satkorlak-PB

KEBUTUHAN SUMBERDAYA UNTUK PENANGANAN BENCANA
o Penyiapan buffer stock bahan pangan dan sandang
o Penyiapan sarana dan prasarana evakuasi korban
o Penyediaan lahan evakuasi
o Pembuatan tower evakuasi gempa dan tsunami
o Penyediaan alat berat
o Penyediaan obat-obatan
o Penyedian Ambulance
o Penyediaan tenaga medis
o Rumah sakit darurat
o Rumah sakit rujukan
o Penyediaan kantung mayat
o Penyediaan trauma centre
o mengaktifkan sistem komunikasi berjaringan (seluruh pengguna : Pemprov, Pemkab, TNI, POLRI, RAPI, ORARI, Radio Penyiaran)
o Penyiapan sarana lifeguard
o Pembuatan pos pemantau lifeguard
o Pembuatan peta rawan daerah bencana
o Penyediaan buffer stock benih dan pupuk
o Penyediaan brosur-brosur informasi tanggap darurat industri
o Penyediaan darah


JARINGAN INFORMASI GEMPA DAN TSUNAMI
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) tingkat pusat sebagai instansi yang paling berwenang menginformasikan adanya gempa dan tsunami di Indonesia akan menghubungi markas besar kepolisian RI (Mabes POLRI). Informasi ini kemudian akan diteruskan ke daerah melalui POLDA, POLRES, lalu POLSEK, dan kemudian ke masyarakat. Kantor kepolisian dipilih sebagai lembaga penyampai informasi karena lembaga ini ada hingga ke pelosok daerah dan siaga sehari 24 jam.


MITIGASI SEBAGAI TINDAKAN PREVENTIF
Mitigasi saat ini dipandang sudah menjadi prioritas untuk segera dilakukan ketimbang respon pasca bencana. Sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif dari bencana yang diperkirakan akan terjadi, maka mitigasi perlu dilakukan secara komprehensif, yaitu kombinasi upaya fisik/struktur dan non fisik/non struktur.
Mitigasi secara fisik dapat dilakukan baik secara alami maupun secara buatan. Sedangkan mitigasi secara non fisik menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi baik fisik maupun upaya lainnya.
Upaya mitigasi fisik secara buatan dikenal dengan pendekatan hard structural countermeasure, misalnya pembuatan breakwater (pemecah gelombang), seawall (tembok laut), rivetmen, groin, jetty, dan retrofitting (penguatan bangunan rumah). Di Indonesia tidak mudah melakukan pencegahan bencana dengan membangun tembok laut atau breakwater untuk keseluruhan pantai seperti yang dilakukan di Jepang karena biayanya sangat mahal. Selain itu tembok laut menimbulkan masalah sosial karena penduduk yang tinggal di belakang bangunan merasa tidak nyaman, baik dari segi kemudahan akses maupun dari segi psikologis dimana penduduk merasa dipenjara.
Upaya mitigasi fisik secara alami dilakukan misalnya dengan menanam cemara laut, waru laut, dan mangrove. Tetapi upaya perlindungan alami ini sering terkendala dengan permasalahan kesesuaian lahan.

Upaya mitigasi non fisik diantaranya dengan pendidikan, pelatihan, penyadaran masyarakat, tata ruang, zonasi, tata guna lahan, relokasi, peraturan perundangan, AMDAL, dan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal Zone Management-ICZM).

TABEL 1. MITIGASI BENCANA DAN PENCEMARAN
NO. FISIK NON FISIK
1.




2. ALAMI
Terumbu karang, sand dunes, vegetasi pantai (cemara laut, waru laut, mangrove, dsb)

BUATAN
Breakwater, seawall, rivetmen, groin, jetty, tanggul, sudetan, konstruksi pelindung bencana, shelter o Pembuatan peta rawan bencana
o Peraturan perundangan
o Sistem peringatan dini
o Relokasi
o Tata ruang, zonasi, Tata Guna Lahan
o Penyadaran masyarakat
o Pelatihan/Penyuluhan
o AMDAL
o Pengentasan kemiskinan
o Penetapan sempadan pantai dan sungai
o Integrated Coastal Zone Management




MITIGASI MELALUI PENDEKATAN PENGELOLAAN PESISIR TERPADU-PPT (Integrated Coastal Zone Management)

Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir seperti industri berat, industri penghasil bahan baku, proyek infrastruktur seringkali menimbulkan degradasi terhadap kualitas lingkungan pesisir. Karena itu pelaksanaan pembangunan berbasis pengelolaan pesisir terpadu-PTT (intergrated coastal zone management/ ICZM) akan meningkatkan kualitas ekosistem pesisir. Aplikasi pembangunan pesisir dan laut berkelanjutan dalan ICZM meliputi kaidah ekologi, ekonomi, sosial politik & budaya, dan kaidah hukum/kelembagaan.
Kaidah ekologi meliputi perencanaan pengelolaan pesisir terpadu (penyusunan rentsra, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi), pemanfaatan optimal, pengendalian pencemaran, dan rancangan-rancangan yang ramah lingkungan).
Kaidah ekonomi, sosial, politik, dan budaya adalah bahwa pembangunan wilayah pesisir memperhatikan aspek peningkatan kesejahteraan, pemerataan, terlindunginya asset-aset sosial budaya dan keagamaan, dan transparansi. Sedangkan kaidah hukum/ kelembagaan adalah dengan ditegakkannya aturan, etika.

PPT pada dasarnya merupakan upaya untuk mengelola elemen-elemen di wilayah pesisir, baik yang terkait dengan sumberdaya di kawasan pesisir maupun aktivitas manusia yang mempengaruhinya.
PPT merupakan konsep pembangunan terpadu yang melibatkan semua stakeholder (pemerintah, masyarakat, swasta), sehingga PPT merepresentasikan perubahan pendekatan pembangunan di pesisir dari reaksioner dan berorientasi pada masalah (problem oriented approach) menjadi terencana, bersifat pre-emptiv, dan menggunakan pendekatan pengelolaan (management based approach).
Dengan konsep PTT ini para pengambil kebijakan di wilayah pesisir dapat mengelola pembangunan yang sifatnya multisektor beserta dampak kumulatifnya, dalam batas-batas keseimbangan yang dapat ditolerir oleh masyarakat dan lingkungan (daya dukung lingkungan dan sosial). Keseimbangan dicapai melalui tiga komponen penting yaitu :
a. Keseimbangan ekologis
b. Keseimbangan pemanfaatan, dan
c. Keseimbangan dalam pencegahan bencana (mitigasi)

Penerapan ICM/PTT secara konsisten akan berdampak :
a. mengurangi potensi konflik antar pemanfaat sumberdaya wilayah pesisir
b. memberikan kepastian investasi karena penempatana kegiatan dan regulasinya yang sudah mengantisipasi kerusakan dan bencana alam.
c. Menciptakan efisiensi dan penghematan anggaran karena banyak biaya harus dikeluarkan untuk rehabilitasi kerusakan lingkungan pesisir dan bencana alam.
d. Memberikan pengertian dan kesadaran pada masyarakat pesisir tentang kondisi, kerentanan, dan kerawanan di wilayah pesisir.
e. Melindungi aktivitas ekonomi masyarakat pesisir seperti budidaya perikanan, industri garam tradisional, dan lain-lain.

Integrated Coastal Zone Management merupakan alternatif yang dipandang lebih baik untuk mengatasi potensi tsunami dipesisir ketimbang pembuatan bangunan fisik pelindung atau reklamasi yang dinilai mahal, dan pemindahan perkampungan nelayan/masyarakat pesisir akan menimbulkan masalah sosial budaya.


KESEIMBANGAN PENGELOLAAN PESISIR
Kondisi ekosistem pesisir yang sehat akan memastikan keberlanjutan kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia. Sebagai contoh, kesehatan mangrove dan karang mempengaruhi produktivitas perairan dan perikanan, juga mempengaruhi kegiatan wisata bawah air dan bangunan-bangunan pesisir dari hempasan ombak.
Disisi lain kesehatan mangrove dan karang sangat dipengaruhi oleh kegiatan pemanfaatan wilayah dan sumberdaya di pesisir, baik karena limbah, konstruksi fisik, maupun perubahan profil pesisir.
Dan yang terakhir, kondisi ekologi dan kegiatan pemanfaatan oleh manusia akan hilang atau rusak bila kita tidak mempunyai konsep mitigasi bencana di wilayah pesisir, seperti tsunami, gempa, banjir, dan lain-lain.


Gambar 1. Komponen yang diperlukan dalam keseimbangan pengelolaan pesisir

Hal-hal yang terkait dengan lingkungan dan kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang perlu dikelola dengan baik adalah :
a. Lingkungan biofisik
b. Habitat dan infrastruktur penting, seperti : mangrove, pulau-pulau kecil, terumbu karang, dan industri minyak lepas pantai
c. Aspek sosial ekonomi, yaitu : populasi penduduk dan tenaga kerja, profil kelembagaan dan hukum, kegiatan perekonomian dan pembangunan
d. Aktivitas ekonomi, seperti : industri migas, perikanan budidaya dan tangkap, hutan produksi (mangrove), pertambangan, wisata, dan perhubungan
e. Bencana alam, seperti : erosi pantai, pasang tinggi, gempa, tsunami, dan banjir

Tiga tujuan utama pengelolaan wilayah pesisir terpadu (PTT) adalah :
a. Tujuan pertama, melindungi integritas ekologi dari ekosistem pesisir. Beberapa ekosistem berada dalam kondisi ekstrim seperti hempasan angina, salinitas tinggi, dan kisaran perubahan temperatur yang tinggi. Tetapi pada saat yang sama ekosistem tersebut mendapatkan suplai nutrisi yang cukup banyak dari aliran sungai, dan kecukupan sinar matahari pada perairan dangkal yang mendukung produktivitas perairan. Dengan kondisi-kondisi ini maka pengelolaan pesisir harus memperhatikan nuansa-nuansa ekologis dari ekosistem pesisir tersebut.
b. Tujuan kedua, mencegah kelebihan-kelebihan material yang sifatnya merusak dan mencegah hilangnya sumberdaya akibat bencana seperti pasang yang ekstrim, ombak besar, badai, banjir, gempa bumi, tsunami, dan abrasi pantai.
c. Tujuan ketiga, membantu dalam menentukan kelayakan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan wilayah dan sumberdaya pesisir dan laut bagi kepentingan manusia, seperti perikanan tangkap, budidaya, pelabuhan, industri, perumahan, dan kawasan rekreasi.

Tujuan akhir dari ketiga tujuan tersebut di atas adalah untuk memadukan aktivitas-aktivitas pembangunan dan upaya pengelolaan yang berbeda oleh pihak-pihak yang berbeda (masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan lain-lain) dalam rangka mencapai ketiga tujuan di atas (ekologi, mitigasi, dan pemanfaatan).
Prinsip pengelolaan kawasan pesisir secara garis besar adalah :
a. Menghindari kegiatan pengembangan di daerah ekosistem yang rawan dan rentan
b. Mengusahakan agar sistem perlindungan alami tetap berfungsi dengan baik
c. Melindungi keselamatan manusia, harta benda, dan kegiatan ekonominya dari bahaya yang datang dari laut, dengan tetap memperhatikan aspek ekologi, kultur, sejarah, estetika, dan kebutuhan manusia akan rasa aman dan kesejahteraan.


MANGROVE SEBAGAI PERANGKAT MITIGASI FISIK ALAMI (Soft Structural CounterMeasure)
Sebagai negara yang kaya dengan vegetasi mangrove, Indonesia perlu belajar banyak dari negara-negara lain yang telah berpikir maju dalam penggunaan hutan mangrove sebagai perangkat mitigasi alami. Diantaranya adalah Taiwan yang membangun hutan mangrove secara besar-besaran untuk melindungi pantainya dari erosi dan abrasi akibat gelombang. Malaysia, Australia, dan Brazil adalah juga negara-negara yang telah maju dalam pengelolaan hutan pantainya.
Makin tebal hutan pantai maka tingkat peredaman tsunami makin tinggi, arus dan gaya hidrolis kian melemah. Untuk gelombang tsunami setinggi 3 meter dan lebar hutan pantai 50 meter maka tinggi genangan setelah melewati hutan pantai tinggal 82 persen, sedangkan arus setelah melewati hutan pantai itu tinggal 54 persen, dan gaya hidrolisnya tinggal 39 persen.
Bila lebar hutan pantai 400 meter, maka tsunami dengan ketinggian 3 meter jangkauan run-up nya tinggal 57 persen, tinggi genangan setelah melewati hutan pantai tinggal 18 persen, arusnya tinggal 24 persen, dan gaya hidrolis setelah melewati hutan pantai hanya tersisa satu persen.
Perlindungan pantai dengan mangrove membutuhkan ketebalan hutan tidak kurang dari 50-1000 meter, tergantung kondisi hidro-oseanografi dan ketinggian tsunami yang terjadi di daerah tersebut. Ketebalan hutan yang difungsikan sebagai lapisan penyangga (buffer zone) menurut Keppres 32/90 adalah 130 kali tinggi pasang surut.

Sebagai perangkat mitigasi alami, mangrove memiliki beberapa keuntungan, antara lain :
a. Penanganan abrasi lebih murah dibanding dengan membuat bangunan laut lain, dan mangrove dapat memberi dampak ikutan yang menguntungkan kualitas perairan disekitarnya.
b. Mangrove memiliki sistem akar yang kuat, tajuknya rapat dan lebat sehingga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai alami dan menahan intrusi air laut.
c. Secara estetika mangrove lebih baik daripada bangunan laut lainnya
d. Bangunan laut dapat menyebabkan erosi dan sedimentasi di tempat lain
e. Kawasan pertambakan dapat ditata ulang dengan sistem wanamina (silvofishery), yaitu perpaduan antara hutan mangrove dan perikanan
f. Mangrove dapat menetralisir lahan yang telah tercemar oleh logam berat.

Untuk perlindungan tsunami, erosi dan badai, maka daerah sempadan pantai perlu dihijaukan dengan mangrove. Demikian pula dengan kawasan pertambakan juga perlu ditata dengan menerapkan sistem wanamina (silvofishery), yaitu kombinasi antara perikanan dengan hutan mangrove.
Pola penghijauan empang bisa dengan pola empang parit atau pola komplangan. Empang parit adalah pola dimana dalam satu empang dibuat parit untuk budidaya perikanan sedangkan sisanya ditanami mangrove. Empang komplangan adalah pola dimana dalam satu empang, separo empang dipakai untuk budidaya perikanan dan sisanya ditanami mangrove. Pematang tambak yang ada juga perlu dihijaukan dengan mangrove.

Perbaikan dan peremajaan mangrove yang rusak merupakan langkah perlindungan pesisir alami yang ramah lingkungan. Penanganan ini dapat dikombinasi dengan bangunan sementara (hard measures) yang diharapkan dapat melindungi mangrove yang baru selama masa pertumbuhannya. Untuk daerah-daerah yang kondisi gelombangnya cukup mengganggu saat penanaman bibit mangrove, maka perlu dibuatkan offshore breakwater (alat peredam ombak-APO) sementara yang sejajar dengan pantai menggunakan kayu, bambu, atau tumpukan ban bekas. Diharapkan breakwater ini dapat melindungi mangrove dari serangan gelombang sampai mangrove mampu menahan gelombang sendiri. Konstruksi APO merupakan struktur semi permanen dengan umur konstruksi minimal 3 tahun.
Fungsi alat peredam ombak sejajar pantai (detached breakwater) ini disamping untuk meredam ombak dan mengambat arus juga dimaksudkan agar terjadi salient atau tombolo daerah antara alat peredam ombak dan garis pantai. Ombak yang mendekati alat peredam ombak akan ditahan dan ombak disamping alat peredam akan didifraksi di belakang alat peredam ombak. Hal ini menyebabkan pengendapan pasir atau Lumpur karena berkurangnya energi arus sepanjang pantai di belakang alat peredam ombak dan akan terbentu salient atau tombolo.

Konversi lahan yang tidak terkendali dan eksploitasi hutan yang berlebihan adalah dua tindakan manusia yang secara langsung merusak ekosistem sehingga membuka peluang terjadinya erosi. Terdapat dua kelompok masyarakat yang melakukan tindakan tersebut di atas, yaitu masyarakat yang sudah memahami resiko yang bakal timbul atas tindakannya tersebut, dan kelompok kedua adalah masyarakat yang sama sekali tidak mengetahui akan resiko tersebut. Oleh karena itu untuk mengatasinya perlu dilakukan sosialisasi yang terpogram, pelatihan, pemberdayaan, dan penyempurnaan peraturan-peraturan yang mendukung berjalannya pengendalian pasca tanam.

Rehabilitasi lingkungan pantai yang sedang memgalami kerusakan akibat tsunami atau erosi karena hilangnya mangrove sebagai pelindung alami, dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Informasi iklim dan karakteristik substrat dasar
b. Informasi topografi dan batimetri, gelombang/arus, kebutuhan serasah, Rencana Tata Ruang Daerah (RTRD)
c. Penetuan ketebalan dan kerapatan mangrove
d. Peletakan layout jalur hijau
e. Penyusunan rencana tahapan pelaksanaan
f. Pelaksanaan tahapan

Tahapan pelaksanaan mitigasi tsunami dan erosi yang berwawasan konservasi direncanakan secara tahunan, sehingga diharapkan ada beberapa tahapan, sampai kondisi dinyatakan sudah memenuhi syarat. Selanjutnya konsep mitigasi perlu diakomodasi di dalam peraturan baik pusat maupun daerah dan Rencana Tata Ruang Daerah (RTRD), agar ekosistem mangrove dapat terus dilestarikan.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat perlu dilakukan :
a. Penjelasan kepada masyarakat mengenai manfaat mangrove
b. Membuat aturan tentang pengelolaan mangrove
c. Pelatihan mangrove
Selain itu perlu dilakukan usaha-usaha peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan mengembangkan berbagai peluang usaha mandiri melalui berbagai kegiatan :
a. Mengembangkan kegiatan wisata alam
b. Mengembangkan usaha budidaya perikanan


SEDIA PAYUNG SEBELUM HUJAN
Bagaimanapun canggihnya sistem antisipasi bencana yang dikembangkan, tetap saja bencana tidak dapat diduga kapan akan datang. Belum ada satu alatpun yang dapat mendeteksi datangnya gempa dan tsunami secara akurat. Karena itu “sedia paying sebelum hujan” adalah langkah yang bijak. Selain pemahaman terhadap tanda-tanda bencana dan mekanisme evakuasi, perlengkapan keselamatan diri seperti life jacket (pelampung), dan perahu karet layak dipertimbangkan. Barangkali perlu juga asuransi jiwa, pendidikan, dan harta benda. ***

Daftar Pustaka :
Diposatono, Subandono. 2006. Mitigasi Bencana Wilayah Pesisir. Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil DKP. Jakarta
Diposatono, Subandono. 2006. Mitigasi Bencana Wilayah Pesisir Berbasis Ekosistem Mangrove. Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil DKP. Jakarta
Idris, Irwandi. 2006. Pengelolaan Pesissr dan Laut Terpadu dalam Pembangunan
Pesisir dan Lautan. Direktorat Bina Pesisir dan Lautan. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Nitiamidjaja, Hilman. 2006. Rencana Aksi Penanganan Bencana Gempa dan Tsunami di Provinsi Banten. Pemerintah Provinsi Banten. Serang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar