Senin, 20 April 2009

REVITALISASI POKMASWAS MELALUI PENDEKATAN EKONOMI

Oleh : Ir. Rachmat Soegiharto

Dalam kesempatan bertemu dengan beberapa Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) di Karangantu, Wadas, Terate, Pasauran, Citeureup, dan daerah-daerah lainnya disepanjang pesisir Banten, terungkap bahwa sebagian besar kelompok tersebut ternyata belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Pada umumnya kinerja POKMASWAS tersebut masih terkendala oleh minimnya sarana, belum dimilikinya legalitas formal, dan kurangnya biaya operasi.

Bila situasinya kondusif, sebenarnya peran kelompok masyarakat bentukan Dinas Kelautan dan Perikanan ini, sangat bisa diandalkan. Mereka bisa menjadi mata dan telinga yang efektif dalam memantau kegiatan-kegiatan illegal fishing dan perusakan lingkungan, seperti : Penggunaan bahan terlarang (bom, racun, listrik), Penggunaan alat penangkap ikan terlarang ( trawl =arad/gardan), Pelanggaran jalur dan daerah penangkapan ikan, Beroperasinya kapal-kapal lain yang mengganggu nelayan lokal, Pelanggaran perizinan usaha penangkapan/pengolahan/distribusi/pengumpulan, Beroperasinya kapal ikan asing tanpa izin, Penjualan ikan/Transhipment di tengah laut, Pencemaran perairan, Pencurian benda berharga dari kapal tenggelam, Pengerukan pasir laut tanpa/tidak sesuai izin, Pencurian terumbu karang, Pembabatan mangrove tanpa kendali.

POKMASWAS Banten yang pendiriannya telah dimulai sejak tahun 2004 yang lalu, selama ini telah mendapatkan cukup banyak perhatian dari pemerintah, tetapi dengan melihat fakta di lapangan bahwa kiprahnya dalam mengawasi pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (SDKP) belum terlihat efektif, maka pola pengembangan POKMASWAS tampaknya perlu ditinjau kembali.
Penelaahan yang dilakukan Samudera Biru menunjukkan bahwa masalah mendasar yang menyebabkan kurang berjalannya sebagian POKMASWAS di Banten, adalah tidak/kurang adanya manfaat ekonomi bagi para anggotanya. Tapi jangan salah paham dulu, manfaat ekonomi yang disebutkan diatas bukan berarti harus membagi-bagi honor setiap bulan kepada anggota POKMASWAS, tetapi lebih pada menciptakan kegiatan ekonomi untuk menunjang pelaksanaan tugas POKMASWAS.

Kita tentunya memahami bahwa sebagian besar anggota POKMASWAS adalah nelayan, yang hampir seluruh waktunya tersita untuk mencari ikan, tentu tidak akan cukup termotivasi untuk bergabung dan bekerja melaksanakan tupoksi POKMASWAS, bila ia tidak melihat adanya manfaat ekonomi bagi dirinya. Manfaat ekonomi ini memang bukan sesuatu yang mutlak, karena di lapangan ada juga anggota POKMASWAS yang membaktikan dirinya dengan rela dan senang, walaupun ia tidak menerima manfaat ekonomi apapun.
Kelahiran POKMASWAS yang dibidani oleh Departemen Kelautan dan Perikanan RI dalam rangka implementasi Sistem Pengawasan Masyarakat (SISWASMAS), sejatinya adalah bukan agen yang dibayar pemerintah secara rutin, dan bukan sebagai organisasi yg mendapat pekerjaan dan dana dari pemerintah (lihat artikel POKMASWAS BANTEN, Garda Terdepan Pengawasan SDKP, di buletin yang sama, edisi yang lalu). Karena itu anggota POKMASWAS harus berlapang dada bila hingga hari ini pemerintah tidak pernah memberi bantuan insentif bulanan sebagaimana dimaksud di atas.

Namun sekedar berlapang dada pastilah tidak cukup. Masalah mendasar yaitu tidak adanya manfaat ekonomi bagi para anggotanya, ditambah dengan minimnya sarana, belum dimilikinya legalitas formal, dan kurangnya biaya operasi, merupakan persoalan yang perlu segera diatasi kalau tidak ingin melihat POKMASWAS tertidur. Merevitalisasi atau membangkitkan kembali keberadaan dan fungsi lembaga ini dengan pendekatan ekonomi, menjadi sebuah alternatif yang layak untuk dipertimbangkan. Inti dari pendekatan ekonomi dalam revitalisasi POKMASWAS adalah dengan menciptakan kegiatan-kegiatan pendukung bagi kelompok ini sedemikian rupa sehingga dengan adanya kegiatan pendukung ini, POKMASWAS memiliki alasan yang kuat untuk terjun ke lapangan, dengan senang hati, tanpa terpaksa, dan tanpa sia-sia.

Sebagai sebuah pendekatan ekonomi, penciptaan kegiatan-kegiatan pendukung tersebut tentu tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga harus didukung oleh faktor-faktor lain yang saling kait mengkait, yang sekurangnya meliputi empat hal, yaitu : (1) Peningkatan Promosi, (2) Peningkatan Legalitas, (3) Peningkatan Sarana Kerja, dan (4) Penciptaan Kegiatan Pendukung itu sendiri.
Bagaimana keempat faktor diatas bekerja, berikut adalah penjabarannya :

1. PENINGKATAN PROMOSI
Kurang dikenalnya sebagian POKMASWAS Banten oleh lingkungannya merupakan bukti nyata bahwa kehadirannya di tengah masyarakat pesisir kurang dipromosikan secara layak. Karena kurang dikenal, maka tidak heran bila anggota POKMASWAS menjadi agak canggung dalam bertindak. Apalagi bila mereka belum memiliki surat pengukuhan sebagai POKMASWAS di desanya. Para anggota POKMASWAS sesungguhnya sangat mengharapkan adanya fasilitasi dari pemerintah, dimana mereka dapat dikenalkan secara resmi dihadapan masyarakat. Mereka menginginkan adanya kegiatan pertemuan dengan warga di Balai Desa, yang dihadiri oleh aparat desa, BPD, Ketua RW, RT, tokoh masyarakat, dan warga pesisir lainnya, yang dengan pertemuan tersebut keberadaan mereka dapat diketahui dan diakui. Berbaris rapih di hadapan masyarakat dengan mengenakan stelan kaus, rompi dan topi biru khas POKMASWAS, adalah moment yang sangat mereka nantikan. Edifikasi dari pemerintah pada kesempatan seperti ini diyakini dapat mendongkrak status sosial mereka, menumbuhkan kebanggaan, motivasi, dan juga tumbuhnya rasa tanggungjawab para anggota POKMASWAS tersebut dalam melaksanakan tugas.

2. PENINGKATAN LEGALITAS
Secara berseloroh seorang anggota POKMASWAS di Desa Citeureup, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, mengatakan bahwa dirinya sangat ingin bisa beraksi seperti di film-film detektif, menunjukkan kartu tanda pengenal kepada seseorang yang kedapatan menambang terumbu karang secara tidak sah, seraya mengatakan ”Saya anggota POKMASWAS !!, silahkan hentikan kegiatan saudara !! atau saudara saya laporkan kepada pihak yang berwajib !!.
He..he..he.. kata-kata aksi tadi tentu bukan representasi sebenarnya dari fungsi POKMASWAS. Mereka bukanlah aparat penegak hukum yang memiliki kekuatan memaksa. Tugas POKMASWAS hanyalah mengamati atau memantau (melihat, mendengar) kegiatan perikanan dan pemanfaatan lingkungan yang ada di daerahnya, kemudian melaporkan adanya dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perikanan atau dugaan tindak pidana dibidang perikanan kepada Pengawas Perikanan atau aparat penegak hukum.
Namun demikian selorohan ala detektif tadi dapat merupakan cerminan, bahwa legalitas formal tentang keberadaan POKMASWAS sangat mereka butuhkan. Bukan saja agar bisa bekerja dengan percaya diri, tetapi lebih dari itu, dukungan legalitas merupakan pelindung hukum yang memberikan rasa aman dan nyaman dalam bertugas.
Berkaitan dengan masalah legalitas ini, maka DKP selaku instansi pembina perlu memastikan bahwa setiap POKMASWAS yang ada di Banten telah dilengkapi dengan surat pengukuhan, atribut, dan kartu anggota/kartu tanda pengenal yang sah. Selain itu perlu juga disosialisasikan secara luas kepada komunitas masyarakat pesisir tentang keabsahan status dan kewenangan POKMASWAS yang ada di desa mereka. Medianya bisa dalam bentuk poster, billboard, Baligo, atau sejenisnya. Bisa juga dengan membuat papan nama Pokmaswas yang penempatannya disandingkan dengan papan-papan nama lain di balai desa, di Pos POLAIR, atau ditempat lain yang dianggap strategis.

3. PENINGKATAN SARANA KERJA
Umumnya setiap POKMASWAS di Banten hanya difasilitasi satu unit pesawat Rig saja oleh pemerintah. Pemantauan kondisi terakhir di lapangan pada November 2008, menunjukkan bahwa alat komunikasi yang dipasang di TPI atau di rumah Ketua POKMASWAS ini, tidak seluruhnya berada dalam kondisi baik. Dengan situasi geografis Banten yang berbukit dan bergunung, dan dengan belum tersedianya pesawat Repeater (Pemancar ulang signal radio), maka tingkat ”keterpakaian” alat komunikasi yang ada saat ini terbilang sangat rendah. POKMASWAS hanya bisa menggunakan pesawat Rig secara sangat terbatas, dan belum dapat dimaksimalkan untuk membantu tugas pengawasan SDKP.
a. Untuk menggenjot kinerja POKMASWAS berkenaan dengan penggunaan alat komunikasi (alkom), maka berdasarkan hasil Pelatihan Operator AlKom bagi para anggota Pokmaswas bulan November 2008 yang baru lalu, dirumuskan bahwa :
Pemerintah perlu segera memasang pesawat Repeater agar komunikasi se-Banten bisa dilakukan.

b. Bila Repeater sudah terpasang, maka masing-masing anggota POKMASWAS secara bertahap perlu dilengkapi dengan pesawat Handie Talkie (HT), agar mudah dibawa kemanapun berpatroli, dan untuk meningkatkan kecepatan penyampaian informasi.

c. Pemerintah perlu segera menyusun kebijakan teknis tentang penggunaaan alat komunikasi untuk pengawasan SDKP, mulai dari penetapan frekuensi hingga prosedur pelaksanaan operasionalnya, dengan maksud agar penggunaan alat-alat komunikasi tersebut dapat dimaksimalkan, dan terhindar dari malfungsi yang tidak perlu.

d. Inventarisasi ulang atas keberadaan peralatan komunikasi, pengecekan kondisi, tindakan perbaikan, dan standarisasi ulang atas kemampuan alat komunikasi perlu segera dilakukan. Pemerintah juga perlu memiliki program perawatan rutin untuk memastikan alat komunikasi yang digunakan bebas masalah.

e. Untuk menghindari kekacauan komunikasi radio, maka penetapan frekuensi tertentu antara Pokmaswas dan DKP perlu ditegaskan kembali. Pemerintah juga perlu merancang jalur komunikasi antara Pokmaswas dan instansi/aparat penegak hukum terkait, seperti POLAIR, TNI-AL, Administratur Pelabuhan, dan instansi lainnya, untuk kemudahan pelaporan dan tindak lanjut atas kejadian yang ditemukan di lapangan.

f. Perizinan radio para anggota Pokmaswas perlu segera dilengkapi untuk ketenangan dan kenyamanan berkomunikasi, dan untuk menghindarkan diri dari sweeping aparat.
g. Semua peralatan dan petugas operator radio komunikasi yang telah dimiliki, terpasang, dan bekerja di Ruang Wasdal DKP, harus dipastikan berfungsi 24 jam. DKP sebagai sentral komunikasi (senkom), perlu melakukan fungsi-fungsi rutin tertentu, misalnya apel udara, untuk memastikan seluruh peralatan dan operator radio komunikasi dari POKMASWAS dalam keadaan siap.
Untuk mendukung kinerja POKMASWAS, sarana kerja yang dibutuhkan memang bukan cuma alat komunikasi saja. Hasil diskusi antara Tim Wasdal DKP dan para anggota POKMASWAS di berbagai daerah menunjukkan bahwa sarana kerja lain yang cukup penting adalah tersedianya mini speed boat. Perahu cepat ini berguna untuk mendatangi tempat-tempat kejadian di tengah laut yang berada dalam jangkauan, yang memerlukan tindakan penanganan dengan segera.

4. PENCIPTAAN KEGIATAN PENDUKUNG
Penciptaan kegiatan pendukung bagi POKMASWAS merupakan inti dari revitalisasi dengan pendekatan ekonomi ini. Kegiatan pendukung adalah sesuatu yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan POKMASWAS, tetapi ia bisa menjadi penyebab berjalan aktifnya kegiatan pengawasan SDKP oleh POKMASWAS.
Bergantung kepada situasi lingkungan perairan masing-masing POKMASWAS, kegiatan pendukung dimaksud dapat berupa :
 Pemasangan rumpon siaga
 Pemasangan SetNet
 Budidaya Kerapu
 Budidaya Kerang hijau
 Budidaya Rumput Laut
Rumpon siaga (maaf, istilah ”siaga” cuma sekedar imbuhan saja) adalah alat bantu pengumpul ikan yang berupa benda atau struktur yang dirancang atau yang dibuat dari bahan alami atau buatan yang ditempatkan secara tetap atau sementara pada perairan laut.
Di banyak tempat, rumpon terbukti sangat efektif mendatangkan ikan. Para ahli sudah membuktikan bahwa banyaknya ikan-ikan yang datang kesitu, selain karena menjadikan rumpon sebagai tempat berlindung, juga karena disana tersedia banyak makanan ekstra. Hal ini dimungkinkan karena rumpon juga menjadi substrat tempat menempelnya beberapa organisme yang terkait dengan siklus/rantai makanan ikan.
Kemampuannya yang tinggi dalam mengumpulkan ikan, membuat negara maju seperti Jepang menjadikan rumpon sebagai salah satu program utama perikanan mereka. Contohnya, sebagaimana dilaporkan oleh Isao Koya, expert JICA dari Jepang, yang mengatakan bahwa nelayan di perairan Okinawa, yang ukuran kapalnya rata-rata dibawah 3 GT, jumlah awak kapal 1 sampai 2 orang, mampu membahwa hasil tangkapan 70 kg per hari (Koya, 2006).
Karena biaya pembuatan rumpon cukup mahal, serta perannya yang sangat besar bagi nelayan dalam menciptakan area tangkap yang potensial (heavenly fishing ground), maka kelompok nelayan yang memiliki rumpon tersebut mau tidak mau harus menjaga, memelihara, dan mengelolanya dengan sungguh-sungguh. Bila tidak, maka ikan-ikan yang melimpah disekitar rumpon tersebut hampir bisa dipastikan akan dimanfaatkan nelayan lain. Atau lebih buruk lagi, rumpon bisa dicuri atau dirusak.
Karakteristik rumpon yang mahal, ditambah kemampuannya yang efektif dalam meningkatkan hasil tangkapan nelayan, serta perannya yang signifikan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar (karena nelayan tidak perlu lagi pergi jauh-jauh membuang-buang bahan bakar untuk mencari fishing ground), membuat rumpon ini, menurut pandangan Samudra Biru, sangat cocok untuk dikembangkan menjadi kegiatan pendukung bagi POKMASWAS. Para anggota POKMASWAS dapat pergi ke tengah laut melaksanakan fungsi pengawasan SDKP, memantau illegal fishing, mengintai pencurian terumbu karang, atau mengawasi penambangan pasir laut illegal, sambil sekaligus menjaga rumpon-rumpon yang mereka kelola. Cukup menarik!, seperti kata pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali berangkat bertugas, puluhan manfaat dapat diraih !
Dengan argumentasi ilmiah sebagaimana disebutkan diatas, dan didukung oleh pengalaman empirik di berbagai tempat, maka tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk mulai mengambil ancang-ancang mengembangkan rumpon ini menjadi salah satu alternatif kegiatan pendukung bagi POKMASWAS.
Secara teknis, langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi titik-titik rawan tempat dimana sering terjadi pelanggaran di laut, kemudian menilai cocok tidaknya titik-titik rawan tersebut untuk dijadikan tempat pemasangan rumpon. Bila cocok, maka langkah berikutnya adalah menyiapkan rumponnya, dan menyiapkan sistem pengelolaannya.
Sistem pengelolaan merupakan bagian yang paling krusial dari program ini. Siapa yang bertanggungjawab, siapa yang menjaga, bagaimana cara menjaganya, bagaimana cara memanfaatkannya, bagaimana mengatur pembiayaannya, bagaimana mengatur hasilnya, dan seterusnya, harus benar-benar dipikirkan secara masak. Jangan sampai program rumpon ini malah bisa menimbulkan masalah baru, baik bagi internal POKMASWAS, maupun bagi nelayan-nelayan lainnya.
Senada dengan rumpon, kegiatan pendukung lain yang juga layak dijadikan alternatif bagi POKMASWAS adalah SetNet, dan berbagai budidaya laut seperti kerapu, kerang, dan rumput laut. Konsep pengembangannya sama, yaitu manfaat ekonomi dari berbagai alternatif kegiatan pendukung tadi, diarahkan untuk melancarkan dan mendinamiskan fungsi pengawasan SDKP yang ada di pundak mereka. Prinsip sederhananya adalah, sambil ngawasin cari profit, atau sambil cari profit sekalian ngawasin. Bravo POKMASWAS !! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar